SEBAGAI warga negara yang hidup nomaden karena rumah masih mengontrak, wajar jika Pemilihan Umum yang baru lalu saya tak kebahagian undangan memilih. Sejak Pemilihan Wali Kota Medan tahun 2020 tercatat tiga kali saya berpidah domisili, jelas ini menjadi kesulitan bagi petugas Kelurahan dimana saya membuat Kartu Identitas Kependudukan, untuk menemukan keberadaan saya.
 
Pada hari pemungutan suara, saya sengaja datang pukul 11.30, karena berdasarkan informasi saya dapat dari media, pemilih tanpa undangan (hanya berbekal KTP ) baru diperbolehkan memberikan hak pilih mulai pukul 12.00 wib. 
 
Meski berbeda kecamatan dengan domisili saat ini, namun tempat diamana saya tercatat sebagai warga Kecamatan Medan Kota hanya berjarak kurang dari 1 km saja atau sekitar 5 menit mengendarai motor untuk sampai ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) dimana dulu saya memberikan hak suara pada PilKaDa Kota Medan.
 
Petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) sangat ramah, setelah memasukkan data kependudukan saya ke link KPU, ternyata saya di TPS 9 dan petugas mengarahkan saya ke salah satu TPS di jalan sebelah. Tanpa melihat nomor TPS saya langsung ke TPS dimaksud dan duduk di kursi pemilih dengan hanya tersisa 20 an orang saja. Entah saya yang kurang gaul, saya tak mengenal satupun calon pemilih yang tersisa ini, padahal hampir tiga tahun saya tinggal di kawasan ini, dilihat dari usiapun kami sepertinya sepantaran. 
 
Dari 20-an pemilih tersisa, satu persatu dipanggil untuk memberikan hak suara, saya pastikan mereka saling mengenal karena dalam dialog mereka bercerita dapat berapa dan apa saja saat kampanye. 
 
Salah seorang perempuan bertanya, siapa calon legislatif yang harus dipilih. Lelaki disebelahnya menjawab, kosongkan saja surat suara lainnya atau gausah dibuka, nyapek-nyapekin saja, lagian kita ga kenal dan mereka gada ngasih apa-apa juga. 
 
Para calon pemilih lain yang tersisa sepakat dengan saran lelaki ini dan jadilah mereka hanya akan memilih calon Presiden dan Wakilnya saja.
Siapa yang patut disalahkan pada kondisi ini, harusnya pemilihan legislatif adalah pemilihan paling humanis, karena para calonnya terutama caleg Kabupaten atau Kota, sudah pasti dikenal oleh para pemilih karena dalam daerah pemilihan (Dapil) setempat. 
 
Rakyat seharusnya tahu bahwa kepada Anggota legislatif di Kabupaten/Kotanyalah mereka lebih mudah menuntut berbagai kebijakan publik, mengapa pemadaman listrik dan air masih terus berlangsung, atau pelayanan kesehatan dan pendidikan di daerahnya buruk dan berbagai keluhan publik lainnya, bukan kepada Presiden atau wakilnya.
 
Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu tak terkecuali para Anggota Legislatif (terutama saat reses) yang menggunakan anggaran dari negara, harusnya memberi pendidikan politik (ter-khusus Pemilu) kepada masyarakat.
 Ketidak(mau)tahu-an masyarakat terhadap proses pengambilan kebijakan atas pilihan mereka pada ujungnya, ditengarai karena politik uang. 
 
Para timses calon presiden dan wakil yang jor-joran memberikan sumbangan baik dalam bentuk sembako maupun uang dan dilakukan secara terang - terangan, akhirnya meninabobokkan akal sehat masyarakat. 
 
Pemilu bukannya menjadi sarana pendidikan politik melainkan pembodohan rakyat, terutama rakyat yang gemar kesenangan sesaat.
 
Akhirnya giliran saya memberikan hak suara tiba, namun setelah petugas memeriksa undangan memilih tersisa, nama saya tak ada disana, ternyata TPS yang saya datangi TPS 7, olala pantaslah tak ada satu pemilihpun yang saya kenal, bergesrlah saya ke TPS 9 di jalan sebelahnya sesuai arahan KPPS TPS 7, saya tiba dan petugas tersenyum karena memang tinggal surat undangan memilih saya yang tersisa di meja petugas.
 
Penulis adalah Pengamat Sosial dan juga dosen Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Pembangunan (STIKP).