Sifa Kharidatul Husna. Begitulah nama bayi mungil nan cantik itu. Sifa adalah salah satu dari ribuan bayi yang meninggal dunia dikarenakan diduga mengidap positif HIV/AIDS yang ia dapat dari kedua orangtuanya. Bocah kecil asal Medan ini merupakan bayi yang lahir secara prematur dengan berat badan 1,7 kg.
Tepat sepuluh hari pasca Reni (bukan nama sebenarnya) melahirkan putri pertamanya, kondisi Reni semakin melemah dan akhirnya terpaksa harus menjalani perawatan secara intensif di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Pirngadi Medan.

Reni dan bayinya harus dirawat di ruang yang berbeda, sang ibu dirawat di ruang Asoka 14, sementara Sifa dirawat di ruang Perinatalogi. Reni yang hidup dengan kemiskinan itu, terus di dampingi oleh pengurus LSM SPKs (Sumatera Peduli Kesehatan) dan Perhimpunan Konselor VCT HIV AIDS Indonesia.

Untuk berobat saja, Reni terpaksa harus mengurungkan niat lantaran tak ada biaya. Tak ada keberanian untuk datang ke rumah sakit. Apalagi dengan statusnya sebagai pengidap HIV/AIDS. Padahal, kondisinya melemah dan harus dilakukan transfusi darah pasca dia melahirkan anak pertamanya.

Wajah Reni pucat. Tubuh kurus tak berdaya itu terbaring di tempat tidur, bergetar saat mengungkapkan kisah hidupnya. Pasca melahirkan, dia hanya dirawat seadanya oleh keluarga pihak suaminya. Sedangkan suaminya, sebut saja Roni, telah meninggal dunia akibat penyakit yang sama, HIV/AIDS.

Pernikahan Reni dengan Roni hanya berjalan lima bulan. Namun, kebahagian itu tidak berlangsung lama, Roni menghadap Sang Maha Kuasa karena penyakit HIV/AIDS yang dideritanya. Kemudian, Reni bersama anaknya yang baru berumur 10 hari terus berjuang untuk tetap ada di dunia ini, dengan segala keterbatasan biaya.

Sedangkan kondisi bayinya, sungguh sangat memprihatinkan. Dengan beratnya hanya 1,7 kilogram, tumbuh jamur di mulutnya dan lahir prematur tersebut, sudah seharusnya bocah kecil itu berada di dalam incubator (penghangat bayi), tapi kini dia hanya berselimutkan kain tipis yang hanya ditemani sang nenek dan ibunya.

“Saya terkejut saat suami saya dinyatakan pengidap HIV/AIDS. Saya pun takut akan terkena, ternyata ketakutan saya itu benar, saya juga tertular HIV,” ungkap Reni sedih sebelum meninggal dunia beberapa tahun yang silam.

Tak ada harta dan benda yang diwarisi sang suami kepada Reni, selain penyakit HIV/AIDS itu. Dia hanya pasrah menerima nasibnya sembari berharap ada bantuan dermawan. “Saya masih mau sehat, tapi untuk transfusi darah saja saya enggak ada biaya,” imbuhnya.

Pihak keluarga suami kini terus berjuang mengurus surat administrasinya untuk mendapatkan surat berobat gratis dari pemerintah (Baca: jamkesmas), meski tak ada kepastian. Dalam pengurusan itu, mereka terkendala lantaran Reni berasal dari Solo, sehingga untuk membuat KTP dan KK sebagai syarat Jamkesmas pun sulit untuk dilakukan.

Di rumah sakit milik Pemerintah Kota Medan itu, selain dipasang infus, Reni juga diberi alat oxygen untuk membantu pernafasannya. Nilam, adik ipar Reni mengaku, kondisi kakaknya memang semakin melemah. Selain tak mau makan nasi, bicara juga sudah susah, syukurnya ia masih mau mengonsumsi susu pemberian LSM SPKs.

Sedangkan kondisi bayi, kata Nilam, terjadi infeksi pada bayi, namun tidak dijelaskan secara pasti oleh sang dokter yang menanganinya.

“Dokternya hanya suruh kita beli obat untuk bayinya seharga Rp750 ribu. Karena kita enggak punya uang untuk membeli obatnya, kita enggak jadi beli obatnya. Jangankan obat, buat makan saja kita susah,” ungkap Nilam yang saat itu sedang memberi makan kakak iparnya.

Selain tak sanggup membeli obat, keluarga Reni juga tak sanggup membiayai pemeriksaan darah yang harusnya sudah dilakukan pihak rumah sakit terhadap bayi Reni.

“Pihak rumah sakit enggak berani meriksa darah bayinya, karena tahu kami enggak ada uang, karena mau beli obat saja sudah enggak ada uangnya,” katanya.

Reni sendiri tidak bisa bicara dengan normal, bicaranya sudah sedikit ngawur dan tidak begitu mengenali orang yang di sekelilingnya, meski ia mengenal betul siapa orang yang sedang menjenguknya.

Tak lama setelah kondisi itu terus berlanjut, akhirnya Reni pun menghembuskan napas terakhir sekitar pukul 00.30 WIB dini hari di Ruang XIV Asoka RSUD dr Pirngadi Medan.

"Kondisinya sangat lemah, napasnya juga sempat sesak," kata Nilam sembari melihat wajah kakak iparnya.

Selama di rumah sakit, Reni sudah dilakukan transfusi sebanyak 3 kantong darah, namun nyawa Reni tak bisa diselamatkan.

"Ada luka di kelaminnya, makanya sama dokter dibersihkan. Tapi setelah itu, dia langsung lemas," beber Nilam.

Dewi, pendamping dari LSM SPKs menambahkan, sejak masuk ke RSUD dr Pirngadi Medan pada Jumat 31 Desember 2010 lalu, kondisi ibu satu anak ini sudah sangat lemah, HB nya 8 dan CD4 53. Reni juga tidak bisa berjalan, tubuhnya pucat dan gemetaran.

Pasca meninggalnya Reni, kondisi sang bayi sempat dikabarkan memburuk. Bayi berjenis kelamin perempuan itu mengalami demam tinggi pada Minggu 1 Januari 2011 pagi. Keluarga sempat kebingungan karena hal itu terjadi di saat bersamaan dengan meninggalnya sang ibu. Apalagi, pihak rumah sakit sempat menyuruh keluarga membeli obat karena si bayi hendak diinfus.

Bayi kecil malang itu, ‘resmi’ menjadi yatim piatu setelah kepergian dari kedua orangtuanya. Sedangkan soal siapa yang merawat bayinya, hal itu masih dibahas bersama dengan keluarganya. Kedua orangtuanya meninggal karena AIDS. Ayahnya wafat saat usianya baru 3 hari, dan si ibu menyusul Minggu dini hari.

Kala itu, peristiwa ini juga menarik perhatian Walikota Medan yang saat itu dijabat Rahudman Harahap. Rahudman pun menjamin pembiayaan medis bayi pasangan penderita HIV AIDS itu.

“Kita berharap, anak ini keluar dari masalahnya, yang jelas bagaimana anak ini dirawat dulu dengan baik. Soal pembiayaan semuanya kita yang menanggung,” ungkap Rahudman.

Namun, kata mantan Sekda Tapanuli Selatan itu, yang menjadi permasalahan adalah ibu bayi yang bukan warga asli Medan. Sedangkan untuk mendapatkan kartu Medan Sehat atau sejenisnya, harus warga asli dari Kota Medan.

Di sisi lain, seluruh mata nyaris tertuju kepada bayi mungil itu sepeninggalnya kedua orangtuanya. Banyak perhatian kepada sang bayi hingga kondisi Sifa pun kian membaik. Berat badan yang sebelumnya 1,7 kilogram, sudah menjadi dua kilogram. Infeksi gatal-gatal yang ada di tenggorokannya juga sudah mulai menghilang. Bahkan, bayi tersebut waktu itu sudah tidak lagi memakai selang untuk mengonsumsi susu.

Hari pun berganti, kondisi sang bayi mulai membaik dan akhirnya diperbolehkan pulang oleh tim medis yang menanganinya. Dalam menjalani perawatan di rumah, sejumlah wartawan yang mengatasnamakan Forum Wartawan Kesehatan (Forwakes) Sumatera Utara berencana ingin menabalkan nama kepada bayi yatim piatu dan suspect HIV/AIDS.

Niat itu pun akhirnya diwujudkan sekitar Sabtu 5 Maret 2011 pagi di Masjid Ar-Ridho Jalan Darussalam/Sei Kapuas Medan. Sifa Kharidatul Husna, begitulah nama bayi yang ditabalkan kepada putri pasangan alamarhumah Reni dan almarhum Roni.

Ketua Forwakes Sumut yang dijabat Zulnaidi waktu itu sempat mengatakan, kisah Sifa Kharidatul Husna ini bisa dijadikan inspirasi bagi para Komisi Penanggulangan AIDS, para stakeholder serta masyarakat agar lebih peduli terhadap pengidap AIDS serta memberikan inspirasi dalam menanggulangi kasus HIV AIDS di Sumatera Utara khususnya Kota Medan.

“Bayi ini lahir prematur. Namun, dengan kebesaran Allah bayi ini mampu bertahan hidup, padahal kondisinya kala itu ada infeksi tenggorokannya dan dengan berat badan hanya 1,7 kg,” katanya.

Melihat kondisinya seperti ini, lanjut Zulnaidi, Forwakes punya niat jika anak ini bisa melewati masa kritisnya, maka Forwakes ingin menabalkan namanya.

“Insyaallah, doa kami bersama agar anak kita ini sehat dapat terwujud. Bayi inipun sehat karena Kebesaran Allah SWT. Sejak itulah rekan-rekan Forwakes menggalang dana dan dana terkumpul setelah pengeluaran seluruh biaya acara tersisa sekitar Rp 3.450.000, kami berikan juga untuk keperluannya sehari-hari,” ungkapnya.

Zulnaidi mengucapkan terimakasih kepada sejumlah donatur yang telah berpartisipasi, sehingga acara ini dapat terselenggara.

“Semoga semua ini menjadi berkah bagi kita semua, semoga Sifa terus sehat dan berguna bagi nusa, bangsa dan agama,” ungkapnya.

Hujan Deras Iringi Kepergian Sifa untuk Selama-lamanya

Tujuh hari berlalu setelah penabalan nama itu disematkan kepada Sifa Kharidatul Husna, bocah ini kembali menjalani rangkaian pemeriksaan dan perawatan di RSUD dr Pirngadi Medan.

Tak banyak yang dapat dilakukan saat itu, dan akhirnya Sifa pun menghembuskan nafas terakhirnya di ruang ICU lantai IV RSUD dr Pirngadi Medan, Senin 14 Maret 2011 sekira pukul 21.10 Wib. Tangis keluarga pun pecah mengiringi kepergian Sifa.

Langit malam itu seakan bersedih ketika Sifa sudah dalam kondisi kaku. Hujan deras pun mengguyur Kota Medan saat itu. Mobil ambulance yang dicarter untuk membawa jenazah almarhumah ke daerah Tanjung Morawa, Deli Serdang, melaju.

Di dalam mobil itu, Albert selaku orangtua angkat Sifa, beserta istrinya Hanum, memeluk bocah itu dengan erat. Di tengah perjalanan hujan deras, tiba-tiba mata Albert menatap tajam kepada seluruh orang yang ikut di dalam mobil jenazah itu.

Dalam tatapan mata yang tajam, keluar ucapan dari mulut Albert. “Terima kasih sudah menjaga anak kami dengan baik. Kini, biarkanlah kami yang membawanya, terima kasih,” ujar Albert tak sadar.

Rupanya, Albert dirasuki oleh almarhum Roni selaku orangtua kandung Sifa. Sifa yang artinya adalah obat itu, telah pergi untuk selama-lamanya dan meninggalkan sebuah kenangan kepada seluruh orang yang menyayanginya.

Keesokan harinya, kedua orangtua asuhnya, Albert dan Hanum tak dapat menyimpan kepedihan yang mendalam atas kepergian bocah tiga bulan yang telah mereka asuh sebelumnya.

“Selamat jalan Sifa, baik-baik di sana ya,” ungkap Albert haru saat menziarahi sang bocah untuk terakhir kalinya.

Meskipun hanya tiga bulan lamanya waktu yang terjalin bersama Sifa, tangis haru keluarga semakin tak terbendung di kala jenazah bocah tak berdosa itu mulai dikafani bilal mayit. Tangisan pun terus berlanjut hingga pada saat Sifa harus diantarkan ke peristirahatan terakhirnya.

Rasa kehilangan ditinggal seorang bocah lucu nan menggemaskan itu, semakin menyelimuti perasaan jiran dan kerabat terdekat.

“Baru sebentar dia bersama kami, tapi Sifa sudah enggak ada lagi. Padahal masih kudengar tangisan terakhirnya tadi malam,” ungkap kedua orangtua asuh sang bocah saat mengantarkan jasad Sifa ke pemakamannya.

TPU Muslim yang lebih kurang berjarak 500 meter dari kediamannya itu, menjadi tempat perpisahan terakhir bagi keluarga yang ditinggalkan.

Ilustrasi kolaborasi penanganan HIV/AIDS/net

Secara terpisah, Koordinator Program CSS HR dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Sumatera Utara, Erwin menyampaikan, sosialisasi ke penjuru level masyarakat dan stakeholder juga perlu ditingkatkan bagaimana memberi pemahaman cara penularan HIV.

"Begitu juga soal pencegahan. Hal tersebut masih perlu digencarkan lagi baik dalam memberikan edukasi ataupun sosialisasi kepada masyarakat," jelasnya.

Di sisi lain, Erwin juga mengritik terkait kebijakan pemerintah terhadap program HIV yang masih belum berjalan dengan baik.

"Karena program penanggulangan HIV yang ada masih banyak disupport oleh donor internasional dibanding dengan dana APBN maupun APBD di kota atau kabupaten," ujarnya.

Pengalaman dan kisah ini, merupakan pembelajaran bagi kita semua. Mungkin, masih ada di luar sana Sifa Sifa lainnya atau masih banyak lagi orang-orang seperti keluarga dari almarhumah ini, yang masih dan sangat membutuhkan pertolongan atau pun informasi lebih lanjut tentang virus ini.

Mudah-mudahan dengan tulisan yang diangkat kembali dari kisah nyata Sifa yang terjadi beberapa tahun silam ini dapat mengetuk hati seluruh masyarakat, maupun pemerintah untuk terus ikut andil memberikan bantuan kepada pengidap HIV/AIDS, baik itu dalam memberikan pelayanan kesehatan, dukungan anggaran ataupun bergotong-royong menyelesaikan persoalan mereka, termasuk juga menghentikan stigma ataupun diskriminasi kepada pengidap HIV/AIDS. Semoga...

Penulis adalah wartawan dan juga redaktur di media online www.gosumut.com