Pimpinan PLN Wilayah Sumatera Bagian Utara (Sumbagut)  diduga memilihara oknum P2TL bertindak brutal pada aksi kejahatan tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan ditengah-tengah masyarakat. Pasalnya petugas P2TL tenaga outsourcing PLN sewenang-wenang memutus arus listrik dan bertindak arogan tanpa ada teguran dari pihak Manager Pusat PLN.

Kekuasaan besar P2TL PLN tersebut membuat masyarakat pengguna jasa PLN jadi tak nyaman disebabkan oknum pimpinan wilayah PLN Sumbagut tak ambil peduli, seakan membiarkan kondisi berlangsung. Fakta dan nyata ini, diketahui ketika wartawan meminta konfirmasi langsung, Direktur Wilayah PLN Sumbagut tak merespon. Bahkan Humas PLN, Lukman memilih bungkam dan memblokir no WA saat disinggung kinerja Gilang bagian Transaksi Energi ULP PLN Perbaungan Sergai Sumatera Utara.

Dimana tugas oknum Gilang selaku transaksi energi sudah bagaikan penyidik. Disebabkan tugasnya dilapangan melakukan eksekusi, pemutusan arus listrik, mencopot meteran dari rumah dan menghitung denda terhadap pelanggan PLN.

Dilema Pencurian Listrik

Dilema memang, pencurian listrik tidak boleh dibiarkan karena itu perbuatan pidana dan mengurangi akses publik menerima pelayanan maksimal.

Nampaknya polemik pelaksanaan Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL) yang dilaksanakan petugas PT PLN Sumatera Utara kian hari terus meruncing. Apalagi memang kebijakan P2TL yang dulu dikenal dengan Operasi Penertiban Aliran Listrik (OPAL) telah mengabaikan dan meminggirkan hak-hak konsumen listrik. Tidak salah dari hangatnya polemik itu, kemudian muncul wacana agar tim P2TL itu dibubarkan saja.

Menariknya gagasan kontroversi itu bergema dari gedung DPRD Sumatera Utara. Dalam perspektif perlindungan hak konsumen, resistensi program P2TL memang patut terjadi karena begitu banyak masalah yang membelit ‘tim pemburu pencuri arus listrik’ ini. Dalam banyak kasus, pelanggan merasa proses penertiban kurang manusiawi, banyak melanggar hukum dan menyalahi prosedur tetap seperti diatur UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, serta petunjuk teknis dan PP yang dikeluarkan Kementerian ESDM dan Ditjen LPE, SK Direksi Nomor 234/Dir/2008 yang dikukuhkan Dirjen LPE sebagai regulator, melalui Keputusan Dirjen LPE Nomor 318-12/20/600.I/2008.

Masalah yang muncul ke permukaan terkait dengan P2TL sebut saja soal pelanggaran asas praduga tidak bersalah yang dianut dalam sistem hukum Indonesia. Betapa tidak, tanpa proses hukum pelanggan langsung divonis sebagai terdakwa ‘pencuri’ dan dapat pula didenda sekehendak hati petugas? Seorang terdakwa teroris sekalipun berhak atas pendampingan hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan sampai di depan pengadilan?

Ternyata, dari informasi yang ada dalam setiap bulannya ada ratusan pelanggan yang terjaring operasi penertiban yang dilakukan petugas P2TL. Namun kenyataannya, para terduga pelanggar hanya divonis membayar sejumlah uang yang besarannya ditetapkan manajemen dengan alasan kekurangan bayar meter.

Lalu, apakah saat memutus sambungan atau mencopot meteran, petugas P2TL ada didampingi pihak kepolisian dan apakah juga disaksikan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dari Metrologi Legal. Kalau tidak maka petugas P2TL telah melakukan tindak pidana sebab mereka bukan penyidik, tapi telah berani melakukan tugas yang seharusnya dilakukan penyidik? Masalahnya kalau merupakan tindak pidana, mengapa tidak ada proses hukum sampai ke pengadilan?

Atau, justru memutus sambungan listrik, tetapi malah melibatkan oknum petugas negara non-penyidik kepolisian-PPNS, misalnya pelibatan polisi militer atau oknum TNI? Termasuk pula soal penyitaan meteran milik pelanggan. Apakah memang ada izin pengadilan. Lalu, bagaimana pula proses dan mekanisme uji forensik pembuktian atas tuduhan pencurian, yang dilakukan secara sepihak oleh petugas P2TL?

Petugas lapangan kurang profesional dan bahkan terkesan sangat arogan dengan tameng operasi P2TL. Temuan lapangan, petugas P2TL ternyata tidak dibekali dengan pengetahuan yang memadai menyangkut tata cara dan prosedur operasi. Sangat jelas dalam ketentuan P2TL petugas harus memiliki pengetahuan dasar-dasar hukum dan etika dan komunikasi di samping teknis ketenagalistrikan. Tetapi kemudian, di lapangan banyak sekali norma hukum dan etika itu yang dilanggar.

Masalah penting tapi sering diabaikan adalah terkait dengan pemahaman masyarakat mengenai P2TL masih minim karena kurangnya sosialisasi. Misalnya menyangkut kerusakan segel pengaman meteran. Bagaimana mungkin segel pengaman divonis sengaja dirusak atau diotak-atik pelanggan, padahal memang segel telah aus atau daluarsa dimakan waktu? Atau, kasus dituduh merusak segel padahal, dalam berita acara pemasangan segel memang belum terpasang?

Soal sosialisasi ini patut digugat karena upaya internalisasi atau pelembagaan ke masyarakat dan pengetahuan konsumen sangat asasi. Pertanyaan sederhana, kalau memang telah ada sosialisasi, kepada siapa saja, kapan dilakukan, lewat media apa dan bagaimana keterlibatan pemangku kepentingan (stakeholders)?

Peminggiran hak konsumen

Begitu banyak masalah yang membelit operasi P2TL selama ini dan kalau dilanjutkan berpotensi memunculkan letupan atau konflik sosial. Poin terpenting dari monitoring dan evaluasi sederhana pelaksanaan P2TL, diperlukan pembenahan yang signifikan baik pada tataran konsep, regulasi, maupun implementasi di lapangan.

Tak kalah penting perlu adanya sosialiasi menyeluruh agar masyarakat tidak mencuri atau melakukan penyimpangan. Kemudian mengerti pula haknya sebagai konsumen. Sampai kini tidak ada sosialisasi memadai bagi masyarakat terkait standar operasional prosedur dalam melaksanakan P2TL. Semua serba sepihak dan informasi yang terkesan dipetieskan.

Memang pencurian listrik tidak boleh dibiarkan karena itu perbuatan pidana dan mengurangi akses publik menerima pelayanan maksimal. Tapi faktanya, masih terjadi sambungan ilegal karena rendahnya pendapatan masyarakat, sulitnya akses sambungan baru, akses baru tidak cocok dengan kebutuhan konsumen, pencurian untuk penerangan jalan, hingga ‘selingkuh’ dengan oknum petugas PLN.

Dari kondisi itu, ternyata masih banyak masalah internal yang belum dapat dituntaskan dengan baik. Tentu patut pula digelitik, apakah mungkin halaman rumah bakal bersih, kalau sapu yang dipakai jusru bagian dari masalah?

Tidak pula ada mekanisme hak menyatakan keberatan terhadap operasi P2TL bagi terduga pelanggar. Tindakan ‘main tebas’ memutus sambungan atau mencopot meteran tanpa melihat kasus per kasus jelas tidak adil. Bagaimana mungkin operasi P2TL dilaksanakan secara fair kalau operasi itu mengandung cacat hukum dan bertentangan dengan norma berlaku.

Hak konsumen listrik terus dipingirkan, padahal standar normatif kewajiban pelayanan masih penuh masalah. Sebut saja misalnya soal masih sering terjadinya pemadaman listrik bergilir atau sporadis, pencatatan meter yang tidak akurat alias main tembak; pemutusan listrik yang menimbulkan konflik; cadangan energi listrik yang belum stabil; birokrasi yang berbelit dan panjang untuk pemasangan sambungan baru; tidak ada perkembangan bahkan tidak terpenuhinya standar pelayanan minimal.

Daftar masalah itu sampai kini tidak atau belum tertuntaskan dengan baik meskipun dalam rentang waktu yang cukup lama. Masalah yang ada pada waktu sepuluh tahun yang lalu, ternyata sampai saat ini masih merupakan masalah yang sama. Tidak ada pergeseran masalah yang signifikan. Jalan terbaik agar ekses P2TL tidak melebar dan liar, cuma dengan melakukan penghentian sementara P2TL. Perlu membenahi semua hal dari hulu sampai ke hilir terkait dengan P2TL dimaksud. Kalau tidak, program P2TL justru makin menyempurnakan peminggiran hak konsumen listrik?

Penulis : Marhalasan Manalu