Tercatat sejak tahun 2014, negara kita sudah tujuh kali menaikkan harga BBM sejak 2014 sampai sekarang. Dalam beberapa waktu antara lain, 17 November 2014, 1 Januari 2015, 1 Maret 2015, 28 Maret 2015, 30 Maret 2015, 10 Oktober 2018 dan yang terbaru di tanggal 3 September 2022. Pada rentang tahun 2014-2018, kenaikan berkisar dari Rp 400-2.000 per liter. Dalih-dalih untuk melindungi rakyat Indonesia, justru terasa malah mencekik rakyatnya sendiri. Katanya ingin mengurangi hutang negara, tapi nyatanya rakyat yang jadi korbannya.

Lima tahun sudah mengabdi untuk rakyat, yang ada kerjanya hanya tidur dan nyanyi-nyanyi tidak jelas di ruang sidang saat rapat paripurna, kalqu begitu mending dihapuskan saja dana pensiunan dari wakil rakyat kita.

Bantuan sosial yang katanya untuk kesejahteraan rakyat dan diharapkan dapat mengatasi masalah, tahu tahunya malah tidak tepat sasaran, yang ada menambah masalah baru. Terus mau jadi apa negeri ini?

Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat, ini seakan-akan menjadi boomerang sendiri bagi kita. Lantas siapa yang pulih? Siapa yang bangkit? Rakyatkah? atau Oligarkikah?

Sebenarnya sah-sah saja ketika pemerintah fokus akan pembangunan infrastruktur dan pembangunan lainnya. Tapi saya pikir kita sebagai rakyat biasa tidak bisa merasakan beberapa manfaat dari fasilitas infrastruktur tersebut.

Pembangunan jalan tol yang panjangnya mengalahkan jalan penghubung antar Kabupaten-Kota, tapi nyatanya tidak semua bisa merasakannya.

Menurut saya malah lebih baik jalan di pelosok yang diperbaiki, mungkin akan terasa lebih banyak lagi manfaatnya. Lantas semua yang di lakukan pemerintah tersebut untuk rakyat? Atau hanya sebatas mengabdi kepada oligarki?

Akhirnya rakyat di perintah untuk tanam cabai di pekarangan rumah. Katanya untuk mengurangi inflasi.

Ngomong-ngomong soal inflasi, rakyat seperti kami ini, tidak paham tentang itu. Yang kami tahu dan kami mau, tak perlu naikkan BBM untuk menciptakan keadilan bagi kami.

BBM naik, pastinya akan berdampak juga bagi keuangan ibu-ibu kami ketika berbelanja di pasar. Kita berharap semoga pemerintah sadar kedepannya.

Saya rasa seramnya film Pengabdi Setan, ternyata tidak kalah seram dengan kondisi negeri kita, Pengabdi Oligarki.


Uan Haleluddin Dalimunthe SH - Ketua LKBH AMPI Paluta