MEDAN - Kekerasan terhadap perempuan, harus dipandang secara luas dan menyeluruh. Kekerasan yang dihadapi tak hanya sebatas kekesaran fisik, kekerasan seksual juga kekerasan psikis atau mental. Menurut Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara (USU), Prof dr. Ida Yustina untuk urusan sanitasi dasar masih diuruskan oleh perempuan.

Mantan Jurnalis Perempuan ini memberi contoh seperti tumpukan sampah yang ada di rumah tangga namun dihubungkan atau harus dikerjakan perempuan. Padahal semua anggota keluarga memiliki perlakuan yang sama dalam urusan sanitasi dasar.

"Jadi tidak melulu harus dikerjakan perempuan semua anggota keluarga bisa ikut membantu mengatasi sanitasi dasar ini," katanya dalam diskusi tentang Pemenuhan Hak Kesehatan Perempuan Sebagai Bagian Pembangunan Kesehatan Masyarakat masih dalam rangka Hari Perempuan Internasional yang digelar Yayasan Pusaka Indonesia bersama puluhan jurnalis di Medan, Jumat (25/3/2022)

Selain masalah sanitasi dasar masalah pola makan dimana perempuan masih dinomorduakan dan ini tentu memberikan pengaruh kesehatan perempuan akibat pola makannya kurang baik.

"Kemudian contoh lain yakni ibu yang habis melahirakan dan wajib menyusui berdasarkan hasil riset kita juga mereka harus memperoleh  3 kali lipat makanan supaya bisa menyusui anaknya dan memberi nutrisi pada dirinya. Namun fakta-faktanya di lapangan masih menjadi persoalan. Jadi hasil riset kita masih banyak yang tidak diberikan edukasi dan banyak yang belum mengetahui bahwa nutrisi dan makanan itu harus diperhatikan kalau tidak akan menyebabkan asi mereka kadang kering sehingga anak-anak dikasi susu formula," jelasnya.

Lalu, sambung Prof Ida hak lain yang harus didapatkan perempuan seperti cuti mentruasi dan cuti melahirkan. Juga dalam memiliki anak serta jarak kepemilikan anak juga harus melibatkan perempuan karena hal ini masih terlibat dengan kesehatan produksi perempuan.

"Penggunaan alat kontrasepsi KB ini juga masih banyak diwajibkan ke perempuan. Padahal laki-laki juga bisa dilakukan penggunaan kontrasepsi. Kalau perempuan saja saya rasa menjadi korban," bebernya. 

Atas beberapa fakta-fakta ini maka diperlukan strategi untuk bisa merubah hal ini yang bisa dilakukan kebijakan penguatan mainstreaming kesehatan perempuan seperti melalui pendidikan masyarakat, penguatan akses informasi, penguatan mainstreaming kesehatan perempuan dalam setiap pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.

"Jadi pendidikan-pendidikan mengenai ini tidak hanya melalui formal saja bisa dari mana saja. Dan butuh dukungan semua elemen," bebernya.

Dalam kesempatan ini, Kordinator Divisi Advokasi Yayasan Pusaka Indonesia,  Elisabeth Juniarti juga melakukan sosialisasi advokasi revisi PP Nomor 109 Tahun 2012 yang telah dilakukan
sebagai upaya perlindungan kesehatan perempuan dan anak.

Ia menuturkan kondisi selama ini perempuan dibebani tugas-tugas domestik baik melahirkan anak mengurus anak juga mengurus suami. Dan, walaupun di era emansipasi wanita dimana Ia menjadi wanita karir juga tetap dibebankan dengan urusan domestik sehingga memiliki beban ganda.

"Jadi ada beberapa lingkaran yang masih dipikul perempuan seperti melahirkan dan mengasuh anak. Mengurus suami, menjadi pencari nafkah (karir). Urusan domestik tadi yakni urusan rumah tangga. Tugas sosial karena perkawinan. Tugas sosial ke masyarakat. Nah, dikehidupan perempuan juga sering mendapat Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), dan bila anaknya tidak berkembang dengan baik contohnya stunting perempuan di salahnya. Juga adanya kekerasan di tempat kerja dan di tempat umum," pungkasnya.