KALIAN jangan mati dulu, bahkan tidak boleh (mati)… “ ungkap Letjen (Purn) Edy Rahmayadi.

Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) itu berbicara dalam pertemuan dengan pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI),  Serikat Perusahaan Pers (SPS), Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) dan para pemimpin redaksi media di Pendopo Rumah Dinas Gubernur di Medan, pertengahan tahun 2020. Menurutnya, peran pers  sangat diharapkan untuk menyebarkan informasi yang mencerahkan masyarakat di tengah pandemi Covid-19.

Gubernur Edy Rahmayadi wajar mengemukakan pernyataan itu. Soalnya, pers menjadi salah satu kelompok yang paling kesulitan untuk bertahan dari hantaman pandemi Covid-19. Secara nasional, Dewan Pers menyebut, 71% perusahaan pers mengalami penurunan omset  lebih dari 50%.  Mungkin, karena itu, sekitar 43,2% perusahaan pers sudah dan sedang mengkaji opsi merumahkan karyawan tanpa menggaji.

Kondisi serupa tentu terjadi di Sumatera Utara. Berbagai suratkabar besar, seperti Analisa dan Waspada yang terbit dari Kota Medan, mengalami penurunan tiras. Iklan juga menurun drastis, akibatnya jumlah halaman pun dipangkas. Kalau sebelumnya suratkabar-suratkabar itu terbit 24-32 halaman setiap hari, kini tinggal 12-16 halaman saja. Para wartawan dan karyawan pun mengeluhkan pembayaran gaji yang sering tertunda, selain terjadi pemotongan cukup signifikan seiring menurunnya pendapatan perusahaan. Bahkan perusahaan juga menjalankan kebijakan merumahkan wartawan dan karyawan sebagai upaya bertahan di tengah pandemi ini.

Pandemi Covid-19 membuat perusahaan media menjadi  rapuh. Konon pula, sebelum pandemi datang pun, sesungguhnya banyak perusahaan media sudah kolaps akibat disrupsi teknologi. Perkembangan teknologi yang menghadirkan Internet membuat minat masyarakat berubah dalam mengonsumsi berita. Media mainstream, seperti suratkabar serta televisi dan radio, mulai ditinggalkan karena teknologi digital membuat masyarakat semakin mudah mengonsumsi berita dari handphone yang mempunyai akses Internet  dalam genggamannya.

Teknologi digital itu mendisrupsi (mengganggu, bahkan mengancam) operasional media mainstream. Akibatnya, banyak suratkabar tutup, demikian pula radio dan televisi ikut mengalami kesulitan untuk bertahan. Lihat saja, di pengujung 2015 lalu suratkabar Sinar Harapan menutup tahun dengan edisi terakhir, menyusul, Jakarta Globe, Koran Tempo edisi Minggu, dan Harian Bola.

Data The Nielsen Company, perusahaan lembaga survei, mengemukakan sepanjang tahun 2015 tercatat 16 suratkabar dan 38 majalah di Indonesia gulung tikar.  Internet menjadi kambing hitam bagi kematian media cetak tersebut, karena masyarakat cenderung beralih membaca berita melalui handphone atau gadget karena selalu up-date. Kalau diakumulasi tentu di tahun 2021 ini sudah cukup banyak media mainstream berhenti terbit, termasuk Suara Pembaruan per 1 Februari barusan. Banyak media tersebut bersalin rupa ke dalam format digital kini.

Perkembangan teknologi ini sesungguhnya berdampak global. Banyak media cetak raksasa di Amerika Serikat, seperti New York Times juga kolaps dan akhirnya berhenti terbit. Begitu pula media ternama lainnya, sebagaimana suratkabar Washington Post dan majalah berita Newsweek di negara Paman Sam itu, maupun The Sun dan The Independent di Inggeris. Sekarang  semua perusahaan media raksasa di masa suratkabar berjaya itu  beralih menjadi media online semata.

Di Kota Medan, Harian MedanBisnis juga kolaps. Suratkabar ekonomi terbesar di Sumatera Utara itu terpaksa berhenti terbit sejak 1 April 2019 akibat disrupsi teknologi digital. Saat itu Covid-19 sama sekali belum menjadi pandemi global. Suratkabar ini pun hanya tampil dalam formal digital sejak itu.

                                                        ***

Pepatah “sudah jatuh tertimpa tangga pula” cocok ditujukan kepada media mainstream dengan mewabahnya pandemi Covid-19 sejak awal tahun 2020 lalu, setelah terdisrupsi teknologi digital. Mereka menjadi semakin sulit untuk bertahan. Namun keadaan ini ternyata juga memukul media online karena pendemi menyebabkan kegiatan ekonomi terhenti sehingga banyak perusahaan melakukan efisiensi atau penghematan, termasuk dengan menyetop pemasangan iklan di berbagai media massa, baik media mainstream maupun media online.  

Kondisi dunia pers itu diketahui Gubernur Sumut Edy Rahmayadi. Makanya, dia segera melakukan pertemuan untuk mendiskusikannya dengan para tokoh pers di Sumut, mengingat peran wartawan dan media massa sangat dibutuhkan untuk menyampaikan berita guna meluruskan informasi simpang-siur mengenai pandemi Covid-19. “Masyarakat harus dicerahkan tentang pandemi Covid-19 ini melalui pemberitaan para wartawan di media masing-masing,” tegasnya.

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara pun mengalokasikan anggaran dari dana penanganan Covid-19 untuk melibatkan pers dalam mengatasi pandemi ini. Apalagi, Gubernur Edy Rahmayadi, menyadari pers memiliki peran penting dan strategis dalam membangun bangsa. “Sebagai pilar keempat demokrasi, pers harus diselamatkan agar bisa bertahan di tengah pandemi,” ungkapnya lagi.

Kalangan pers di Sumut  tentu  memberi apresiasi terhadap kepedulian Gubernur Edy Rahmayadi tersebut. Apalagi langkah ini kemudian diikuti oleh Satgas Penanganan Covid-19 Pusat yang juga menggunakan peran perusahaan pers di berbagai daerah di Indonesia, termasuk Sumut, untuk menyebarluaskan informasi benar tentang pandemi lewat iklan, advertorial, dan pemberitaan ke tengah masyarakat.

Dewan Pers bekerjasama dengan Satgas Covid-19 mengikuti langkah itu dengan membuka fellowship bagi para wartawan di Indonesia untuk membantu menyampaikan, mengawasi, dan memberikan masukan mengenai program pemerintah menangani pandemi ini. Ada kuota bagi 5.800 orang wartawan untuk mengikuti program bernama Fellowship Jurnalisme Perubahan Perilaku (FJPP) yang berlangsung sejak Oktober hingga Desember 2020 ini.

Melalui FJPP pemerintah berkomitmen membantu para wartawan yang sedang menghadapi krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19. Sebaliknya wartawan dan pers membantu pemerintah mengarusutamakan perubahan perilaku dalam masyarakat untuk menanggulangi pandemi Covid-19. Karena itu setiap wartawan mendapat dana lebih Rp2 juta setiap bulan guna menunjang tugas jurnalistiknya dalam program ini.

Banyak wartawan dari berbagai media di Medan serta kota-kota lain di Sumut mendapatkan fellowship ini. Mereka pun menjadi lebih bergairah menunaikan tugas-tugas jurnalistiknya, apalagi setelah FJPP tahap pertama ini berakhir ternyata masih lolos dalam program tahap kedua yang berlangsung dari Mei sampai Desember 2021 mendatang. Pada tahap kedua ini persaingan untuk mendapatkan fellowship memang lebih berat, karena kuota dipangkas tinggal untuk 3.030 wartawan saja dari seluruh Indonesia, tapi banyak wartawan dari Sumut tetap mendapatkannya.

Sofyan Harahap, Ketua Dewan Kehormatan Provinsi Persatuan Wartawan Indonesia Sumatera Utara (DKP-PWI Sumut) periode 2015-2021,  mengapresiasi ketangguhan para wartawan dan medianya memanfaatkan berbagai peluang guna bertahan dari kondisi saat ini, termasuk peluang dari pemerintah dan Dewan Pers. Konon pula, katanya, saat mereka sedang “mati-matian” beradaptasi dengan perkembangan teknologi digital yang mendisrupsi media mainstream, lalu muncul pula pandemi Covid-19, ternyata masih mampu menjaga profesionalitas dalam menunaikan tugas jurnalistik.

Dia menyebut  kemampuan wartawan dan pers di Sumut bertahan di tengah disrupsi teknologi dan Covid-19 menunjukkan bahwa mereka cukup tangguh. Mereka memang babak belur tapi masih berusaha survive.

Malah, keadaan ini, seolah tak menyurutkan niat sejumlah wartawan melakukan hijrah dari suratkabar ke media online. Kondisi lah yang “menginspirasi” mereka melakukan peralihan tersebut supaya bisa tetap survive menunaikan tugas-tugas jurnalistik guna mencerahkan publik di kala pandemi Covid-19, tanpa perlu cemas suratkabar tiba-tiba berhenti terbit karena kolaps.

Pemerintah seyogianya dapat memanfaatkan semangat wartawan dan pers tersebut, khususnya di Sumut, dengan mengulurkan tangan dalam bentuk program semacam FJPP atau pemasangan iklan dan advertorial.  Uluran tangan itu mereka perlukan untuk membantu program-program pemerintah mencerahkan masyarakat melalui pemberitaan di tengah pandemi Covid-19 ini.

Bagi wartawan dan pers pun, sebagaimana kata Ketua Dewan Pers Prof. Muhammad Nuh, program bantuan itu tidak akan menghambat sikap kritis terhadap cara pemerintah menangani pandemi Covid-19. Bahkan dapat membuat pers berkolaborasi dengan pemerintah untuk mewujudkan nilai yang lebih tinggi, yakni visi kemanusiaan guna membantu menyelamatkan masyarakat dari pandemi Covid-19 melalui pers atau sarana media massa.  

Pokoknya, sikap kritis  tetap relevan di tengah kondisi saat ini. Malah sikap kritis itulah yang menjadi energi bagi wartawan dan media untuk tetap tangguh. Survive dari pandemi atau badai apa pun yang datang menghantam, meski babak belur. *

*Penulis adalah wartawan, tinggal di Medan, Sumatera Utara.