MEDAN - Yayasan BITRA Indonesia bekerja sama dengan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Nasional dan Kurawal Foundation memfokuskan giat diskusi mengenai relevansi investasi di bidang pertanian dan pangan di masa pandemi Covid-19.

"Melemahnya ekonomi karena imbas pandemi, diprediksi juga menyebabkan penurunan derajat ketahanan pangan masyarakat, terutama pada kelompok miskin dan rentan termasuk petani. Melalui Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020, Pemerintah merombak postur anggaran dan belanja negara untuk merespons pandemi Covid-19 dimana penggunaan APBN difokuskan untuk penanganan dampak Covid-19 sebesar Rp 677,20 triliun," jelas Direktur Pelaksana Yayasan BITRA Indonesia Rusdiana Adi secara daring Rabu, (6/10/2021).

Menurutnya, anggaran tersebut dialokasikan untuk menjamin akses pangan penduduk miskin dan rentan dalam rangka perlindungan sosial sebesar 203,9 triliun. Investasi pemerintah pada sektor pertanian dan pangan tidak hanya dilakukan pada masa pandemi seperti sekarang ini saja. Sejak tahun 1990-an, terjadi stagnasi produksi pertanian yang diakibatkan rendahnya tingkat investasi publik.

"Contoh temuan lainnya ialah minimnya investasi sektor pertanian dan pangan non-infrastruktur berupa pendampingan dan pemberdayaan pada petani padi dan tanaman hortikultura di Provinsi Sumatera Utara," katanya.

Rusdiana juga menjelaskan, melemahnya ekonomi diprediksi juga menyebabkan penurunan derajat ketahanan pangan masyarakat, terutama pada kelompok miskin dan rentan termasuk petani. Kajian cepat KRKP pada bulan April 2020 di 36 Kabupaten sentra produksi padi menunjukkan terjadinya penurunan harga gabah hingga Rp 3.000 Kg.

"Di beberapa sentra produksi hortikultura, sampai dengan Oktober 2020 terus terjadi penurunan harga akibat mandeknya rantai pasok pangan. Hal ini tentu saja mempengaruhi pendapatan petani. Rendahnya pendapatan ini semakin memukul kehidupan petani di masa pandemi," ucap dia.

Rusdiana mengatakan, investasi pemerintah pada sektor pertanian dan pangan tidak hanya dilakukan pada masa pandemi seperti sekarang ini saja. Sejak tahun 1990-an, terjadi stagnasi produksi pertanian yang diakibatkan rendahnya tingkat investasi publik, terutama dalam penelitian dan pengembangan, infrastruktur pedesaan, dan irigasi.

Hal tersebut mendorong pemerintah melakukan perubahan pada pelaksanaan investasi pemerintah pada sektor pertanian dan pangan. Pada tahun 2008, pemerintah mengarahkan 50 persen sumber daya pertanian (setara 29.4 triliun rupiah) untuk melakukan subsidi input pertanian. Jumlah itu setengahnya atau Rp 15.2 triliun dialokasikan untuk pupuk, lalu sisanya untuk benih, beras untuk masyarakat miskin, dan kredit pertaman.

Sejauh ini, kebijakan investasi publik di sektor pertanian dan pangan hanya diterjemahkan pada pemberian pupuk subsidi, pemberian alat dan mesin pertanian, serta pembangunan infrastruktur penunjang pertanian yang bertujuan untuk meningkatkan produksi pertanian di suatu daerah.

Padahal, jika menilik lebih jauh lagi, peningkatan kapasitas petani dan pendampingan pada kelompok kelompok tani juga terhitung sebagai investasi publik, karena memiliki tujuan yang sama, yakni meningkatkan produksi pertanian sekaligus mengangkat derajat hidup para produsen pertanian yang dalam hal itu petani.

Penguatan kapasitas serta pendampingan pada petani sania pentingnya dan tidak bisa ditinggalkan saat membicarakan investasi publik.

Hal itu senada dengan temuan yang KRKP pada kajian investasi publik di sektor pertanian dan pangan di 4 wilayah, bahwa peningkatan investasi infrastruktur fisik yang disertai dengan Research and Development. penyuluhan/pendampingan, dan peningkatan kapasitas petani akan mendorong ketersediaan produksi pangan dan pertanian.