LHOKSEUMAWE – Kendati kehadiran Bank Syari’ah Indonesia (BSI) di Aceh belum menunjukan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan di provinsi paling ujung pulau Sumatera itu, namun kehadiran BSI di Aceh merupakan implementasi dari Qanun nomor 11 tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) di Aceh. Kehadiran BSI yang baru seumur jagung itu, tentu masih munculkan berbagai stigma miring, apalagi sudah menjadi kelaziman bagi masyarakat dunia bahkan masyarakat Aceh tiap bertransaksi selama ini menggunakan bank konvensional yang kehadirannya sudah ratusan tahun, tentu saja untuk merubah kebiasaan itu tidak semudah membalik telapak tangan.

Direktur Markaz Ats-Tsaqafah Al-Islamiyah masjid Baiturrahman yang juga Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Malikussaleh (FEB Unimal) Dr Damanhur Abbas Lc,MA mennyikapi stigma miring dari masyarakat terhadap BSI, dijelaskan konsep ekonomi syari’ah memberikan solusi terbaik bagi pertumbuhan ekonomi di Aceh.

"Oleh karena itu masyarakat tidak perlu pesimis, justru harus kita dorong agar ekonomi syari’ah menjadi pilihan terbaik bagi para pelaku bisnis di Aceh, tentunya kita tidak bisa serta merta memperbaiki pola ekonomi yang sudah mendarah daging bagi pelaku bisnis dimana saja, karena selama ini kita menganut ekonomi kapitalis dengan menggunakan bank konvensional sudah ratusan tahun, sedangkan ekonomi syariah di Aceh dengan kehadiran BSI sesuai dengan qanun nomor 11 tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syari’ah baru seumur jagung, tentu ini membutuhkan proses, yang pasti kita sudah berusaha untuk beralih dari ekonomi riba menjadi ekonomi syari’ah," katanya, Selasa (28/9/2021) di Lhokseumawe.

Damanhur Abbas, sangat berkeyakinan, BSI di Aceh akan memberikan layanan yang terbaik bagi nasabah, tentunya seluruh elemen masyarakat Aceh mendorong agar BSI secepatnya menjadi pioneer untuk menarik investor ke Aceh dengan konsep ekonomi syari’ah.

"Sisi-sisi negatif terus diperbaiki, sehingga stigma buruk akan hilang dengan sendirinya,  untuk mengukur kinerja BSI terhadap pertumbuhan ekonomi terutama di Aceh, mungkin  perlu kajian khusus, sangat naif jika kita menginginkan anak yang baru lahir bisa berlari," jelasnya.

Stigma mengenai belum adanya dampak positif dalam hal menarik investor dari luar masuk ke Aceh, dijelaskan semua itu masih dalam proses.

"Berkaca pada negara-negara timur  tengah, mereka membutuhkan waktu ratusan tahun bahkan ribuan tahun, meningkatkan pertumbuhan ekonomi syari’ahnya, lihatlah negara-negara kuat secara ekonomi dan negara-negara terkaya didunia lebih banyak muncul di timur tengah berdasarkan pendapatan perkapita penduduknya, sedangkan  di Aceh qanun LKS baru disahkan  tahun 2018 lalu, tentu ini masih membutuhkan waktu, baik dalam hal penyesuaian tingkat pertumbuhan ekonomi dari kapitalis ke ekonomi syari’ah, para SDM keuangan yang selama ini menjalankan konsep ekonomi kapitalis, harus berubah menjadi ekonomi syari’ah yang meniadakan perdagangan riba," katanya.

Oleh karena itu, tambah Damanhur Abbas, kita menginginkan investor bisa berinvestasi ke Aceh melalui Bank Syariah yang ada di Aceh saat ini, Jika merujuk pada hal yang saya sampaikan, saya kira investor jauh lebih jernih pemikirannya karena mereka menginginkan adanya keuntungan apalagi kita masyarakat biasa.

Disampaikan, dampak positif dari permasalahan tersebut, Bagan Akun Standar (BAS) akan menjadi solusi terhadap investasi di Aceh karena tugas mereka bukan hanya memberikan pembiayaan kepada PNS namun jauh lebih mulia dari itu.

"BAS adalah daftar kodefikasi dan klasifikasi terkait transaksi keuangan disusun secara sistematis sebagai pedoman perencanaan, penanggaran, pelaksanaan anggaran dan pelaporan keuangan," katanya.

Sedangkan aspek negatif, urai Damanhur Abbas, bank tersebut akan gulung tikar di Aceh jika tidak digunakan oleh para investor dan ini bukan tangungjawab kita.

"Percuma saja di sana ada komisaris, direksi dan berbagai jabatan yang dibayar dengan uang negara untuk memikirkan kemajuan lembaga tersebut," urainya.

Dirinya mengatakan, BAS itu tidak mau besar karena berkeinginan menjadi raja secara gambling. Kalau hanya mengelola keuangan negara yang ditempatkan pada BAS tidak mesti harus S3 yang menjadi direktur, tamatan SD pun bisa mengelola uang tersebut.

"Seharusnya, ini menjadi peluang bagi BAS untuk menjadi Bank Investasi. Walau pada awalnya memerlukan modal besar sedangkan modal tersebut sudah mereka miliki, kalau mereka tidak mau merubah diri menjadi Bank Investasi, maka jangan pernah berharap Aceh mempunyai Bank berkelas internasional, di mana masyarakatnya bisa menggunakan jasa perbangkan pada saat melakukan ibadah Haji ke Arab Saudi atau mereka berada bukan hanya dapat digunakan di Aceh saja," jelasnya.

Dalam hal ini, Dr. Damanhur menjelaskan, saat ini kolaborasi merupakan salah satu solusi dalam mewujudkan pembangunan yang berkesinambungan. Kalau masing-masing sektor tersebut single fighter maka tidak akan pernah lebih kuat peran perbangkan syariah di Aceh maupun di Indonesia.