MEDAN - Program pengabdian pada masyarakat berbasis penelitian untuk mengembangkan produk-produk hasil penelitian dosen, menjadi produk komersil terus berlanjut. Salah satunya, Prof. Dr. Rosdanelli Hasibuan MT yang mengantarkan product from Lab to market, dengan komoditi arang dan asap cair melalui metode pirolisis, berbahan baku tempurung kelapa dengan skema Program Pengembangan Usaha Produk Intelektual Kampus (PPUPIK).

Disebutkannya, pengembangan arang dan asap cair yang memiliki tiga grade masing-masing; grade 1, 2 dan 3 ini dibiayai dana non Pemasukan Negara Bukan Pajak (PNPB) Universitas Sumatera Utara (USU) tahun 2021. Pengabdian ini juga melibatkan mahasiswa Teknik Kimia Universitas Sumatera Utara (USU) semester VII; Yoga Perdana Y, David dan Hanin Dyah Dwi Nataya SW.

"Pengabdian ini lanjutan dari tahun lalu, menggunakan metode pirolisis, prosesnya membakar biomassa. Biomassa yang kami gunakan ini tempurung kelapa dibakar, kemudian pada waktu tertentu dia akan mengeluarkan asap. Asapnya itu, kalau dibiarkan keluar sayang, jadi kami dinginkan dengan menggunakan pendingin spiral. Lalu dia akan mencair, ditampung lah menjadi asap cair atau nama lainnya bio oil," ujar Prof. Dr. Rosdanelli, Sabtu (28/8/2021).

Asap cair ini paparnya, memiliki banyak manfaat seperti menggumpalkan getah, mengawetkan kayu. "Jika tahun lalu yang dihasilkan masih grade tiga. Tahun ini dimurnikan kembali, hasilnya sudah ada yang grade 1 dan grade 2. Ini bisa dijadikan pengawet makanan dan akhirnya untuk kosmetik," sambungnya.

Untuk asap cair grade tiga, memiliki warna yang lebih gelap, hitam. Sedangkan asap cair grade satu dan dua, warnya lebih jernih.

Arang dan asap cair, produk pengembangan hasil penelitian dosen dari Program pengabdian pada masyarakat.

Dijelaskan Prof. Rosdanelli, untuk asap cair grade tiga, memiliki peluang untuk bekerjasama dengan industri kayu atau industri karet. "Ini cocok bekerjasama dengan industri penggumpal karet, atau UKM yang bergerak di usaha kayu," ujarnya, sementara pasar yang bidik adalah perkebunan.

Sedangkan untuk asap cair grade satu dan dua bisa menjadi sebagai pengawet makanan.
"Untuk grade satu dan dua ini, kita belum ada kerjasama dengan perusahaan yang akan menggunakan. Kita masih menyosialisasikan kepada pedagang bakso, karena selama ini ada yang mengunakan boraks sebagai pengental atau pengawetnya. Jadi kita, minta mereka menggunakan asap cair ini menggantikan boraks atau formalin," sambungnya.

Namun sambungnya untuk merubah mindset tersebut tidak mudah, harus terus menerus dilakukan sosialisasi.

Selanjutnya untuk produk arang jelasnya, sudah ditawarkan ke restoran-restoran kecil yang ada di sekitar kampus.

"Untuk arang ini, sudah kita ditawarkan ke restoran-restoran kecil yang ada di sekitar kampus, untuk ayam bakar, ikan bakar," ujarnya.

Prof. Rosdanelli menambahkan, menggunakan arang tempurung mempunyai keunikan dibandingkan arang kayu. Karena arang tempurung memiliki asap yang lebih sedikit.

"Ini produksinya belum banyak. Kalau banyak dan kapasitasnya bisa terjamin, kita bisa kontrak dengan perusahaan di Belawan yang memang menampung arang untuk membuat karbon aktif. Itu ada dan kita sudah bisa konek ke sana," ujarnya.

Prof. Rosdanelli menyebutkan, sejauh ini rata-rata kapasitas produksi arang baru sekira 200 kg bahan baku dengan hasil 80 kg setiap kali produksi.

"Ini semua aplikasi dari penelitian, kalau awalnya kapasitasnya, kecil-kecil. Sekarang lebih besar dan sudah bisa dipasarkan. Ini sudah bisa skala pilot plan. Setelah dikaji, ternyata bisa dibuat scale up, dan bisa mengikuti program PPUPIK, " pungkasnya.