SENJA ITU, suasana A&K Café di Jalan Limau Manis Pasar 13 Tanjung Morawa Deliserdang, terlihat lengang dan sepi. Hanya ada 5 orang pengunjung yang duduk sejenak di ruang depan cafe. Terkesan tidak adanya kenyamanan pengunjung yang sekedar mengobrol di kursi-kursi dan meja yang sengaja dibatasi adanya aturan PPKM. Sebelum muncul virus Covid-19, cafe yang berdiri sejak dua tahun ini biasanya ramai dikunjungi kaum millenial.

Ada yang sengaja nongkrong sambil ngobrol dengan masing-masing komunitas. Ada juga yang sengaja hadir untuk menikmati kopi yang disajikan A&K.

Menurut pemilik cafe, Sofian Zain Ray, sebelum adanya Corona, pendapatannya bisa mencapai Rp2 juta/hari. Namun dengan adanya Corona, disertai aturan PPKM yang diterapkan pemerintah, sangat sulit bercerita soal pendapatan.

"Sedih dan bingung kami yang jualan ini. Pemerintah buat aturan PPKM seperti tebang pilih alias pilih kasih dan tidak merata. Petugas yang merazia tidak peduli kita dapat uang atau tidak. Yang penting mereka menjalankan tugasnya," kata Ucok sapaan akrab Sofian Zain Ray.

Ditanya soal bagaimana cara menyiasati situasi saat ini, Ucok terdiam sejenak.

"Dengan adanya aturan PPKM ini, kita harus punya siasat bagaimana agar usaha tetap buka dan tetap ada pembeli. Tapi kita harus memikirkan juga bagaimana caranya berjualan kalau tidak ada ketenangan. Satu hari bisa tiga kali dirazia. Kita enggak mungkin melarang konsumen yang datang. Akhirnya kita ya kucing kucinganlah dengan polisi.

Jika mereka razia, kita tidak ijinkan pengunjung duduk berlama-lama. Kita segera bubarkan atau kita minta agar mereka take away aja.Dan kita juga selalu ingatkan agar tetap mematuhi aturan prokes. Supaya tidak disalahkan lagi. Kadang jika pas razia, kita buru-buru kasihkan nomor hape ke pengunjung, terus kita antar langsung pesanannya. Yang penting bisa laku jualan dan menghasilkan," cerita Ucok yang mendirikan café A & K sejak Oktober 2019 lalu.


Ayah dua anak ini menambahkan, situasi paling berat yang dihadapi saat ini adalah soal pengurangan omzet yang otomatis harus mengurangi jumlah karyawan juga.

"Karyawan saya dari 10 orang, sekarang hanya tersisa 2 orang saja. Itupun sudah sulit kita untuk membayar gajinya. Kan enggak mungkin mempertahankan minus terus. Mereka mana mungkin memikirkan minusnya. Dan kita harus tetap buka. Sebenarnya sejak awal Covid-19 tetap buka walaupun dirazia sehari tiga kali. Kenapa kita tetap buka, karena kan karyawan butuh makan. Kita enggak mikirkan diri kita aja. Sebenarnya bisa aja kita tutup, tapi anggota gimana nanti makannya," jelasnya.


Saat ini sebutnya, pendapatannya hanya 10 persen saja dari pendapatan normal sebelumnya. "Pendapatan itu 90 persen hilang, mereka merazia seperti menghantui. Seolah-olah kita ini pelaku kriminal," ujarnya.

Selaku pemilik cafe, sekarang ini dia mengaku bukannya senang jika konsumen datang. Melainkan khawatir dan bingung. Sementara jika menolak konsumen juga tidak mungkin. Sebab, efeknya ke depan, pasca PPKM berakhir mereka tidak mau datang.

"Kalau kita nanti enggak tegur efeknya, ke kita resikonya," ujarnya.

"Gimana kita mau mengaturnya, paling ya pelan-pelan kita beritahu saja, ini mau ada razia. Kalau razia jam 9 ya jam 8 kita sudah tutup pintu. Jam setengah sembilan kita matikan lampu, supaya konsumen jangan masuk. Secara tidak langsung kita sudah menegur konsumen. Kan enggak mungkin dia gelap-gelapan mau masuk. Kami sampaikan juga, nanti kalau razia abang diusir, bukan kami yang usir, tapi yang merazia. Apalagi pemberlakuan PPKM, ga boleh nongkrong. Makin ribetlah," sambung Ucok.

Dia berharap aturan PPKM jangan terlalu berlebihan. Namun memperbolehkan pengunjung duduk tapi dengan tetap mematuhi aturan prokes.

"Pake masker dan jaga jarak, tapi jangan overlah. Kadang razia ini tebang pilih. Mereka buat pos di simpang Kayu Besar, itu banyak di dekat mereka orang-orang pada nongkrong, tapi meraka ga usir, tapi yang di ujung dunia sana mereka kejar. Kenapa mereka tidak disuruh matikan lampu dan enggak diusir.

Kenapa kita yang jauh dari pos malah disuruh matikan lampu. Masak bisa gajah di depan mata dia ga tau, tapi lalat di ujung laut dia bisa lihat. Terbalik kan? Kita bukan ga mau dirazia, tapi janganlah tebang pilih. Kalau perlu ya sekalian aja dilockdown semua biar adil. Ga usah buka pom bensin biar orang ga kemana-mana. Jadi sama-sama menderita," kritiknya.

Dia berharap, dalam membuat aturan agar adil dan merata. Menerapkan aturan untuk semua. "Kalau misalnya café dan plaza ditutup, tidak boleh buka, tapi kenapa tempat hiburan boleh buka," ujarnya.

Saat ini sebutnya, pendapatannya hanya sekira Rp 300 ribuan dari jam 1 siang sampai malam. Penghasilan tersebut termasuk untuk operasional seperti biaya listrik, bahan baku dan juga gaji karyawan.

"Jadi akhir ceritanya satu malam itu minus. Kalau untuk hati saya ditanya sebagai owner saya tidak mau buka lagi. Tapi secara kemanusiaan saya tidak bisa tutup. Memang kalau mau dihapuskan pekerjaan sekarang ini tidak bisa. Bolehlah dibuka café dengan batasan waktu dan tetap mengikuti aturan prokes," kata Ucok menyudahi obrolan.