BULAN Juli awal tahun 1981, pada Sabtu ke 3 setelah subuh, kampung kami geger gegara seorang anak tertimpa pagar penjual serabi yang ia jadikan mainan. Bukan cuma pagar yang roboh, tetapi lampu minyak yang tergantung juga jatuh dan tumpah di punggung anak ini. Bajunya terbakar dan tembus ke kulit punggungnya hingga melepuh.

Anak berteriak kesakitan. Ibunya panik dan nangis histeris. Si penjual serabi panik di level 78, tubuhnya kaku dan kakinya bergetar layaknya vibrator.

“Siram pakai air..!” mendadak suara keras dari Wak Yani dari sebelah kanan.

Yu Ginem yang berada di sebelah tukang serabi bergegas mengambil ember hitam tempat cucian tangan si tukang serabi dan menyiramkannya ke punggung anak itu. Api mereda, menyisakan sedikit sulutan di sisi pinggang. Sontak Yu Ginem memukulnya dengan telapak tangannya. Api terkendali bersamaan dengan teriakkan mengaduh si anak terkena tangan  Yu Ginem yang lebar dan tebal seperti pemukul kasur dari rotan.

Warga mulai ramai berkerumun. Si Anak terus menangis menahankan perih kulitnya yang terbakar.

“Oleskan pasta gigi..!” teriak Lik Warjo dari tengah kerumunan.

“ini” seru Kang Yatno yang baru pulang mandi dari kali sambil mengarahkan gayung merah berisi pasta gigi menyeruak keramaian.

Yu Ginem dengan sigap menangkap gayung dan mengambil pasta giginya. Ia mengoleskan pasta gigi itu tanpa mempedulikan jeritan si anak. Rata sudah pasta gigi di punggung si anak.

Menangis terus si anak sambil tiarap di tanah. Telungkup. Kerumunan jadi panik.

“Salah, mestinya oles minyak sayur dingin, biar kulitnya tidak luka,” kata Mbah Diran dengan suara seraknya.

“Ini” seru Mba Yanti sambil memberikan botol berisi minyak sayur yang baru dia beli dari kedai Mbah Paijan.

Lagi-lagi Yu Ginem beraksi, ia menuangkan seperempat liter minyak sayur itu ke luka di punggung si anak. Kali ini ia agak pelan meratakannya dengan jari bengkaknya.

Sejenak si anak merasakan dingin minyak sayur di punggungnya, tangis mereda, tapi tidak lama ia teriak lagi. Kerumunan panik lagi.

“Dulu tanganku terbakar, aku kasih telur ayam kampung, lihat tak berbekas kan?!” Kata mbok Sinem sambil menunjukkan tangannya.

“Ini,” kata Mba Yanti sambil mengulurkan telur dari tas belanjaannya.

Kali ini Yu Ginem ragu, ia mundur dan dengan sigap Lik Sanis mengambil alih. Ia memecahkan telur itu pas di atas punggung si anak yang sedang tengkurap kesakitan. Begitu lincah seperti memecah telur untuk di goreng. Perlahan Lik Sanis meratakan telur itu ke seluruh luka di punggung.

Tangis si anak tidak mereda. Tangis ibunya lebih menjadi. Ada asap tebal di tungku serabi karena sejak tadi tidak diangkat. Terbakar dan kerumunan tambah panik.

“Kasih kecap, biar dingin...” Sebuah teriakan bukan dari kerumunan tetapi datang dari pintu rumah seberang. Kerumunan terdiam.

“Ini,” lagi-lagi Mba Yanti mengambil sesuatu dari belanjaannya dan sedetik kemudian sampailah 1 sachet kecap manis di depan wajah Lik Sanis.

Dengan ragu-ragu Lik Sanis menuang dan meratakan kecap itu di luka si anak.

Kerumunan merasa lega.

Tangis si anak mereda, diam.

Tangisan si ibu juga mereda, diam.

Ibu dan anak sama-sama pingsan.

Panik

Sungguh kejadian seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya di kampung kami. Semua dari kami tidak punya referensi cara menangani kasus seperti ini. Kami panik. Kami ingin solusi, tetapi tidak tahu mana yang paling baik.

Kami para penonton dan komentator mengusulkan aksi-aksi penyelamatan yang heroik. Ibu si korban tak bisa apa-apa, kami mencoba semua usulan solusi.

Mirip pandemi di negeri ini, tak ada yang tahu pasti solusi yang paling benar. Mirip dengan bisnis kita, tak ada yang tahu pasti solusi yang paling benar. Kita hanya mencoba-coba.Bak memukul paku dalam gelap.

Di kemudian hari, si anak adalah objek ejekan sekampung. Ia kami juluki “Telur dadar kecap manis”.

Dan hingga hari ini si anak menyimpan sakit hati yang tiada putus. Mau marah ke warga kampung yang menjadikan punggungnya wajan masakan, ia juga tidak yakin, karena bisa jadi seluruh bahan di punggungnya bisa jadi yang menyelamatkan dia.

Tapi ia tetap tidak rela menjadi bahan percobaan dan kemudian jadi bahan ejekan.

*Penulis adalah business coach dengan sub-spesialisasi bisnis keluarga.