PERNAH sekali waktu saya dan keluarga berangkat dari Medan menuju Toba. Hujan sudah mulai turun dari Siantar pelan-pelan, dan mungkin sudah lebi dahulu mengguyur Parapat dengan lebatnya. Benarlah, saat mobil kami melaju menuruni jalan raya yang agak sempit, saya mulai khawatir. Kantuk saya seketika hilang ketika melihat air begitu deras, seperti aliran sungai turun dari bukit di sebelah kiri, langsung menerobos kedai-kedai kopi di sebelah kanan, tempat orang-orang biasa berhenti sambil menatap ke arah Danau Toba.

Air menyeret potongan-potongan kayu, bebatuan, bahkan ada patahan perabotan bekas ikut terseret ke jalan.

Warga yang tinggal di sekitar, termasuk beberapa orang yang punya kedai kopi di tepi jalan, membersihkan jalan sambil mengarahkan pengemudi agar pelan-pelan.

Saya melihat ada seorang bapak yang tampaknya sudah lelah menghalau air, namun terlihat pasrah, membiarkan air melalui rumahnya sekaligus tempat usaha tempel ban, langsung terjun ke Danau Toba di bawahnya. Tak ada yang dapat dilakukannya lagi saat itu selain berdoa, berharap hujan segera reda.

Kenapa air bisa begitu deras dari atas perbukitan? Berarti, di atas sudah tak ada lagi pohon yang mampu menahan air.

Setelah melewati arus deras yang nyaris masuk ke dalam mobil, aku lega. Sempat khawatir bagaimana kalau tiba-tiba air meluap dan terjun dari atas lalu menyeret mobil yang melintas.

Ya, di tengah kejadian seperti itu, perasaan was-was, kadang datang.

Setelah kejadian itu bila melewati Parapat, saya selalu berharap tidak hujan, apalagi saat menuruni jalan berliku di bawah perbukitan itu.

Kemarin, kejadian lebih parah terjadi. Dari video yang kulihat di medsos, aliran air sudah seperti sungai mengaliri jalanan kota wisata Parapat.

Ini bencana buatan manusia.

Bencana yang diundang dan dibuat pelan-pelan, tapi pelan-pelan juga nanti akan menyapu korban jiwa bila terus dibiarkan.

Sungguh ironis. Di balik kemegahan pariwisata yang sedang didengungkan, ada potensi bencana, yang sialnya dianggap sepele.

                                                                 ***

‘Anda dapat membeli semuanya dengan uang, termasuk membeli prinsip. Tapi, percayalah, suatu saat uang tidak akan dapat mengembalikan kerusakan alam yang terjadi. Uang tidak dapat membeli segalanya.”

Entah dari mana saya dapat kalimat ini, tapi begitulah kiranya bila melihat dampak-dampak yang terjadi pada lingkungan akibat eksplorasi berlebihan kepada alam.

Alam disediakan untuk manusia agar dapat digunakan untuk kehidupannya, tapi jangan kebablasan. Siapa bilang pohon tidak dapat ditebang? Boleh, asalkan pohon yang sudah ditebang diganti dengan pohon yang baru, sehingga kelangsungan (sustainability)-nya terjaga.

Namun, yang terjadi ialah, pohon ditebang, tapi tidak diganti dengan pohon yang sepadan dengan fungsi sebelumnya. Pohon pinus diganti dengan eukaliptus, atau kelapa sawit misalnya—yang tentu saja nilai uangnya sangat menggiurkan.

Inilah yang terjadi dengan hutan di sekitar Danau Toba, dan dampak nyatanya terjadi kemarin di Parapat.

Persoalan lingkungan di Sumatera Utara, menurut saya, sudah berada di tingkat yang memprihatinkan. Eksplorasi korporasi atas nama peningkatan ekonomi masyrakat begitu bebas mendapat izin, tanpa memperhatikan dampak lingkungan.

Masyarakat selalu dijejali bahwa kehadiran korporasi akan mampu mendorong ekonomi masyarakat, akan ikut mendorong pertumbuhan ekonomi negara, komoditas sumber daya alam akan mampu mendorong laju ekspor bahan baku yang dibutuhkan pasar dunia.

Atau yang teranyar, pariwisata kelas internasional yang selalu digembar-gemborkan, akan memberikan dampak domino bagi perekonomian masyarakat. Tapi, program ini sepertinya lupa menjamah agar keseimbangan dan kelestarian lingkungan tetap terjaga.

Sekarang kita mulai mencaritahu apa penyebabnya dan siapa yang seharusnya bertanggungjawab.

Jika itu yang ingin kita lakukan, maka ada baiknya kita jangan lupa bahwa kita punya wakil rakyat yang duduk di gedung DPRD, yang harusnya jeli melihat persoalan lingkungan di provinsi ini.

Ada komisi yang dibentuk untuk bisa duduk bersama untuk menyampaikan ini ke pemerintah pusat, merekomendasikan agar Kementerian Lingkungan Hidup mengevaluasi izin-izin eksplorasi korporat yang bergerak di kawasan hutan sekitar Danau Toba.

Saya jadi teringat ketika mengerjakan liputan khusus tentang kasus daur ulang swab Kimia Farma di Bandara Kualanamu. Konon, katanya, ada satgas di DPRD Sumut yang dulu dibentuk mengawasi penanganan Covid-19 di Sumut. Jangankan memberi rekomendasi, Satgas ini kabarnya sudah 'raib' kini.

Apakah kejadian serupa juga akan terjadi dengan kasus lingkungan di Sumut? Masih adakah yang peduli, atau sudah merasa nyaman dengan posisi saat ini? Datang, duduk ikut rapat, pulang.

Tak malu, bermewah-mewah dengan posisi dan kemewahan gaya hidup yang difasilitasi uang rakyat.

Tapi, aku yakin ini akan dibahas sebentar lagi di gedung dewan. Lalu akan disusun agenda kunjungan kerja ke lapangan—memantau lokasi banjir, mungkin.

Pulang dari sana, setelah itu…

Ssssssst…. Sssssst….

Lamat-lamat, hilang barang itu...

*Penulis adalah wartawan, domisili di Medan