ASAHAN - Setiap daerah tentunya mengandung sejuta sejarah. Sama halnya seperti di Kabupaten Asahan, berbagai sejarah seperti pertempuran hingga cerita mistik juga tak kalah menarik untuk diulas.
Di Kabupaten Asahan, tepatnya di Desa Sipaku Area, Kecamatan Simpang Empat, berdiri tegak sebuah tugu. Tugu tersebut merupakan monumen sejarah perjuangan melawan para penjajah.

Tak sedikit warga Kabupaten Asahan yang mengetahui tugu tersebut, bahkan tak sedikit pula warga setempat yang mengetahui sejarahnya.

R. Soetrisman, ME, S.Sos dan Drs Kadiman Desky telah menuliskan sebuah karya buku berjudul "Satu Jam di Front Sipaku Area".

Menurut penulis, sejarah peristiwa ini berawal pada tanggal 13 Maret 1942 saat tentara Jepang mendarat di Pantai Perupuk bergerak menuju dan menyerang Tanjungbalai, sehingga Belanda menyerah dan Jepang menduduki Asahan.

Pemerintahan Jepang yang dipimpin Letnan I Jemada merubah pemerintahan bentukan Belanda menjadi Asahan Bunsyu yang membawahi Fuku Bunsyu Batubara yang berkedudukan di Labuhan Ruku. Pada tanggal 14 Agustus 1945 pemerintahan penjajahan Jepang berakhir kekuasaannya di Asahan dan pada tanggal 17 Agustus 1945 proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.

Pada awal setelah proklamasi 17 Agustus 1945, pemerintahan di Kabupaten Asahan dalam situasi yang kurang menentu sehingga ditetapkan UU Nomor 1 tahun 1945 sebagai dasar dibentuknya pemerintahan dan pada bulan September 1945 terbentuk Komisi Nasional Indonesia (KNI) wilayah Asahan.

Pada tanggal 4 Maret 1946 pemerintahan swapraja dihapus dan berlaku Pemerintahan Militer di Sumatera Timur termasuk Asahan.

Kemudian pada tanggal 5 Maret 1946 diadakan rapat bersama Komite Nasional Indonesia Asahan dengan Resident Sumatera Timur membentuk susunan Pemerintah Republik Indonesia di Asahan. pada tanggal 15 Maret 1946 terbentuk pula struktur Pemerintahan Republik Indonesia di Asahan yang dipimpin seorang kepala wilayah.

Wilayah Asahan dibagi 5 kewedanaan yaitu Kewedanaan Tanjung Balai (Jamaluddin Tambunan) Kewedanaan Kisaran (Abdullah Umar Pane), Kewedanaan Batubara Utara (A.H. Zein), Kewedanaan Batubara Selatan (Abdullah) dan Kewedanaan Bandar Pulau (Sukimin).

Susunan pimpinan kekuatan tempur di Asahan adalah dari Tentara Rakyat Indonesia Letkol Qasim Nasution menjabat sebagai Dan Resimen II di Kisaran, Kapten Liano Siregar menjabat sebagai Dan Yon I/Resimen II di Tanjungbalai. Selanjutnya, Mayor (L) Solar AB Sinaga menjabat sebagai Komandan Angkatan Besar di Tanjung balai, Mayor (L) Sarif Nasution menjabat sebagai Komandan Pangkalan III Tanjung Tiram, Dari Unsur Lasykar > WP. Turangan (Lasykar Buruh Pesindo) di Lubuk Palas/Serbangan, Mansyur dan Muhammad Ginting sebagainLasykar Buruh Pesindo di Bunut/Kisaran dan Lauriencius Tampubolon menjabat sebagai Komandan Persatuan Perjuangan.

Untuk Asahan area bagian utara di Pulau Mandi, H. A Dahlan sebagai Lasykar Hisbullah, di Tanjung Balai Amiruddin Siregar sebagai Lasykar Pesindo, di Tanjung Balai Ahmad Nurdin Lubis sebagai Lasykar Barisan Maut, di Sipaku Ahmad Sulaiman Nasution sebagai Lasykar Buruh Pesindo.

Selanjutnya pada bulan Juli 1947 pemerintahan sipil di bawah pimpinan Bupati Abdullah Eteng di Tanjungbalai sebagai pusat pemerintahan. Maka, Bupati Abdullah Eteng beserta dewan stafnya segera melakukan penyingkiran dari Tanjung Balai ke Bandar pulau.

Rakyat juga diperintahkan untuk melakukan pengungsian menuju Tapanuli, Pulau Raja, Bandar Pulau dan Rantau Prapat. (Sejarah Gerilya Asahan Labuhan Batu 1947-1949 : Letkol Mansyur : 1976).

Akibatnya siang malam terlihat rakyat berbondong-bondong berangkat mengungsi ke daerah pedalaman dengan berjalan kaki memikul beban yang dapat dibawa untuk perbekalan dalam pengungsian. Ibu-ibu menggendong bayi dan anak-anak yang masih kecil diiringi pekik, tangis dan raung menyayat hati. Karena lelah, lapar, cemas, takut dan sebagainya.

Di tempat-tempat penyeberangan di pinggir sungai yang tidak ada jembatannya tampak pasukan-pasukan atau laskyar-laskyar kita tidak mengenal lelah memberikan bantuan dan melindungi para pengungsi sambil memberikan spirit (semangat) kepada rakyat agar tidak terlalu panik.

Dilain pihak karyawan karyawan perkebunan (dari Bunut-Kisaran) diungsikan pada malam hari yang gelap gulita dengan muntik (sejenis kereta api mini) menuju daerah pedalaman. Sementara karyawan-karyawan yang tidak ikut mengungsi bekerja keras melakukan penumbangan pohon pohon karet untuk merintangi jalan raya yang akan dilalui kendaraan musuh.

Pada tanggal 30 Juli 1947 pukul 11.00 wib bertepatan dengan bulan suci Ramadhan terdengar gemuruh suara pesawat Mustang dan kendaraan konvoi pasukan Belanda yang meraung-raung memasuki daerah Asahan dengan menyebarkan selebaran-selebaran yang bersifat menghasut, memprovokasi dan mengancam serta menakut-nakuti rakyat.

Selebaran tersebut berbunyi antara lain "tentara kerajaan Belanda telah menguasai kembali Hindia Belanda, oleh karena itu semua pasukan bersenjata Indonesia supaya menyerahkan diri berikut senjatanya kepada tentara kerajaan yang terdekat, tentara kerajaan akan bertindak terhadap perampok-perampok bersenjata,".

Namun demikian, rakyat tidak percaya adanya provokasi pihak Belanda tersebut. Selebaran itu dianggap sebagai kertas pembungkus kacang goreng belaka. Malah isi selebaran tersebut telah menyulut api dendam dan kemarahan rakyat dan laskyar Indonesia.

Abdullah Eteng selaku Bupati dan komando perjuangan cq. Dewan Pertahanan bersama wakilnya Saidi Muli melihat bahwa sebagian besar daerah asal telah diduduki musuh, sehingga untuk memberikan perlawanan secara maksimal dengan kekuatan yang ada, dilakukan pendelegasian komando.

Untuk daerah asal utara diberikan kepada Lauriencius Tampubolon yang berkedudukan di Pulau mandi yang kemudian markas komando ini dipindahkan ke Butrea Piasa Ulu. Untuk Asahan Selatan dipegang oleh Abdullah Eteng dan H. A. Dahlan yang berkedudukan di Tanjung Balai.

Pada tanggal 5 agustus 1947 tentara Belanda dengan gencarnya melakukan penyerangan dan meluluhlantakkan Kota Tanjungbalai terutama Selat Lancang dan Sei Dua, namun tidak berhasil melumpuhkan pemerintahan Asahan karena sudah dipindahkan ke Bandar pulau.

Selanjutnya pasukan Belanda akan melakukan penyerangan ke Sipaku, karena di sana ada Ahmad Nurdin Lubis dan letnan Ibrahim Pardede dibantu ALRI yang siap tempur di Sipaku dan Henglo. Melihat peristiwa penyerangan tentara Belanda terhadap kota Tanjungbalai, maka pasukan sabotase di bawah pimpinan Lettu Ahmad Nurdin Lubis yang bermarkas di pos polisi Simpang kawat segera menyusun strategi penyerangan.

Strategi ini ditetapkan untuk mengantisipasi manakala tentara Belanda akan menuju Pulau Raja melewati Simpang kawat. Akan tetapi mengingat kekuatan pasukan sabotase sangat minim, Komandan pasukan Lettu Ahmad Nurdin Lubis memerlukan waktu beberapa hari untuk mengkonsolidasikan penambahan pasukan dan persenjataan.

Akhirnya pada tanggal 10 Agustus 1947 terjadi pertempuran tidak seimbang antara pasukan Belanda dengan pasukan Tentara Rakyat Indonesia dengan mengambil sebagai Front Sipaku, tepatnya jembatan sungai Hessa yang terletak di Dusun V B Desa Simpang Empat.

Selama 1 jam barisan maut pimpinan letnan Satu Ahmad Nurdin Lubis melakukan perlawanan sengit dengan semboyan "Merdeka Atau Mati" yang telah mengambil korban dari pihak tentara rakyat yang gugur sebagai pahlawan perang kemerdekaan. Bersambung...