MEDAN - Tradisi ceng beng atau ziarah kubur bagi warga keturunan Tionghoa, merupakan sarana untuk mempererat tali silaturahim antar anggota keluarga. Selain mengenang dan memuliakan orangtua maupun leluhur yang sudah meninggal dunia, tradisi ini juga salah satu cara berkumpulnya saudara, kerabat, dan anak-anak para warga keturunan meskipun sudah berbeda agama dan keyakinan.

Begitupun, DPP Solidaritas Indonesia Tionghoa Demokrasi (SOLITD) menyerukan agar warga khususnya etnis Tionghoa tidak merayakannya secara berlebihan. Apalagi saat ini masih dalam masa pandemi Covid 19.

"Kita mengimbau agar pelaksanaan sembahyang kubur itu baiknya di rumah saja. Bukan kita melarang, namun ini untuk kebaikan bagi kita semua," ucap Ketua Umum DPP SOLITD, Drs Herri Zulkarnaen Hutajulu SH Msi di dampingi Sekjend DPP, Ferdinan Ghodang SE SH MH, Sabtu (3/4/2021).

Untuk tahun ini, puncak perayaan Ceng Beng jatuh pada Minggu (4/4/2021). Oleh karena itu, Herri menyampaikan, pelaksanaan ceng beng di rumah tidak mengurangi makna dari tradisi tersebut.

"Guna menekan penyebaran dan penularan, baiknya kita di rumah saja. Dengan begitu, kita sudah ikut serta menerapkan anjuran pemerintah dengan mematuhi protokol kesehatan, salah satunya tidak berkerumun," pintanya kembali.

Sementara itu, Sekjend DPP Ferdinan Ghodang menjelaskan, tradisi ceng beng, menurut cerita rakyat, berawal dari zaman kekaisaran Zhu Yuanzhang, pendiri Dinasti Ming (1368-1644 M). Di mana, Zhu Yuanzhang berasal dari sebuah keluarga yang sangat miskin. Karena itu, dalam membesarkan dan mendidik Zhu Yuanzhang, orangtua Zhu meminta bantuan kepada sebuah kuil.

Saat dewasa, Zhu memutuskan untuk bergabung dengan pemberontakan Sorban Merah, sebuah kelompok pemberontakan anti Dinasti Yuan (Mongol).

Berkat kecakapannya, Zhu mendapat posisi penting dalam kelompok tersebut dan kemudian menaklukkan Dinasti Yuan (1271-1368 M), sampai akhirnya menjadi seorang kaisar.

"Setelah menjadi kaisar, Zhu kembali ke desa untuk menjumpai orangtuanya. Namun, ternyata orangtuanya telah meninggal dunia dan tidak diketahui keberadaan makamnya," ungkap Ferdinan.

Untuk mengetahui keberadaan makam orangtuanya, Zhu Yuan Zhang memberi titah kepada seluruh rakyatnya untuk melakukan ziarah dan membersihkan makam leluhur mereka masing-masing pada hari yang telah ditentukan.
Selain itu, diperintahkan juga untuk menaruh kertas kuning di atas masing-masing makam, sebagai tanda makam telah dibersihkan.

Setelah semua rakyat selesai berizarah, kaisar memeriksa makam-makam yang ada di desa dan menemukan makam-makam yang belum dibesihkan serta tidak diberi tanda.

Kemudian kaisar menziarahi makam-makam tersebut dengan berasumsi bahawa di antara makam-makam tersebut pastilah merupakan makam orangtua, sanak keluarga, dan leluhurnya.

"Inilah kemudian dijadikan tradisi untuk setiap tahunnya hingga saat ini. Sebenarnya, perayaan Ceng Beng ini bertujuan supaya semua kerabat dekat, saudara, anak-anak, bisa berkumpul bersama, agar hubungan semakin erat terjalin. Meski sudah berbeda agama atau kepercayaan, bukan berarti sudah tidak perlu datang untuk sekedar sungkem atau sekadar melihat ke makam orangtuanya," sebutnya.

Hal senda juga disampaikan DR. Soeherman Gatot SH MBA (Penasehat DPP SOLITD), Wong Kim Po (Penasehat DPP SOLITD). Mereka juga menyarankan agar tradisi ceng beng baiknya di rumah saja.

"Yang penting, kita enggak kehilangan makna dari tradisi ceng beng ini," singkat mereka.