MEDAN-Hingga per 31 Desember 2019 defisit program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dialami Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mencapai Rp 15,5 triliun. Jumlah ini terus meningkat sejak tahun 2016 yaitu Rp 6 triliun menjadi Rp 13,5 triliun tahun 2017. Karena itu, sebagai salah satu solusinya pemerintah menetapkan kenaikan iuran peserta BPJS Kesehatan pada semua kelas.

Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa Jakarta, AH Maftuhan mengatakan defisit pembiayaan jaminan kesehatan nasional ini tidak bisa kita lepaskan dari berbagai faktor. Salah satu hal yang paling krusial yang perlu digaris bawahi adalah bahwa pemanfaatan program JKN memang sangat tinggi sekali oleh masyarakat.

"Faktor tingginya pemanfaatan ini tidak bisa kita lepaskan dari satu perubahan situasi yang fundamental. Jadi, sebelum JKN dan setelah JKN ada perbandingan dimana sebelum menggunakan JKN pelayanan kesehatan itu suatu yang mahal yang tidak mudah diakses dan dinikmati masyarakat luas. Setelah ada JKN akses lebih mudah dan meningkat warga atau peserta memanfaatkan pelayanan JKN ini secara besar besaran," katanya saat diwawancarai di sela-sela acara bertajuk Desiminasi Penelitian Defisit JKN Mengapa dan Bagaimana Mengatasinya, yang digelar di Hotel Madani Medan, Kamis (5/3/2020).

Menurutnya, dari euforia ini mengakibatkan seluruh program JKN ini dimanfaatkan maksimal dan kadang juga tidak sesuai dengan penyakit atau kondisi pasien. Dimana seharusnya sebuah penyakit itu di tangani oleh tenaga kesehatan yang artinya warga cukup mengakses klinik, puskesmas atau fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP).

"Tapi karena ingin mendapatkan pelayanan optimal mereka meminta untuk di rujuk ke rumah sakit. Terkadang petugas fktp, puskesmas atau klinik tidak terlalu ketat menjaga sistem itu. Sehingga terlalu longgar. Ini juga salah satu faktor," jelasnya.

Faktor selanjutnya adalah kepatuhan iuran peserta mandiri. Menurut Maftuhan menjadi faktor kenapa JKN defisit. Lalu kemudian jenis-jenis penyakit yang dicover sangat komplit. Tidak ada batasan sehingga biaya klaim rumah sakit atau FKTP sangat besar sekali.

"Karena tidak ada batasan penyakit dlm program JKN. Sehingga hal ini mempengaruhi kondisi pembiayaan JKN," sebutnya.

Untuk itu, jika ingin mendapatkan satu kondisi jaminan kesehatan yang berkelanjutan, Maftuhan menuturkan ada dua yang harus di perbaharui yakni di aspek tata kelola JKN nya sendiri. Kedua, bagaimana JKN memobilisasi sumber-sumber pembiayaan alternatif yang dipakai untuk menutup defisit dan sekaligus memastikan apakah mempunyai SDM yang memadai untuk keberlanjutan JKN.

Sementara itu, Peneliti Perkumpulan Prakarsa Jakarta, Deni W Kurniawan menekankan benefit benefit atau manfaat yang dirasakan dengan adanya program JKN sangat jauh dibanding cost atau biaya yang dikeluarkan. "Untuk itu, jangan sampai program JKN ini berganti apalagi terhenti tetapi harus terus berjalan namun tetap dievaluasi sehingga semakin baik. Pemerintah harus melakukan kontrol JKN ini jangan balik ke Jamkesda atau lainnya. Sebab sistem ini sudah sistem yang paling baik," pungkasnya.*