JAKARTA - Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, Bambang Soesatyo (Bamsoet) mencatatkan banyak hal sebagai refleksi akhir tahun MPR 2019. Pokok Haluan Negara, penguatan dan penataan kewenangan DPD, penataan kekuasaan kehakiman, penataan sistem presidensil, serta penataan sistem hukum dan peraturan perundang-undangan dengan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, menjadi sorotannya.

Kesemuanya yang disebut Bamsoet itu, sedianya merupakan rekomendasi dari MPR RI periode sebelumnya. Dalam diskusi bertajuk 'Refleksi Akhir Tahun MPR 2019' di Media Center MPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (18/12/2019) hari ini Bamsoet menyatakan, "ada memang rekomendasi, kami ini kan yang meneruskan, melaksanakan PR, pekerjaan rumah dari periode sebelumnya,".

Soal Pokok Haluan Negara, kata Bamsoet, bentuk "baju hukum" menjadi pertentangan, antara Tap MPR atau melalui UU. Beberapa pihak khawatir, jika Haluan Negara melalui Tap MPR, maka Presiden produk reformasi yang merupakan mandataris rakyat bisa digeser menjadi mandataris MPR.

Dan, "kalau hanya dikasih baju undang-undang, ini rentan dimentahkan oleh Presiden periode berikutnya. Cukup dengan Perppu, selesai!". Padahal, kata Bamsoet, mayoritas sepakat bahwa Indonesia butuh Haluan Negara sebagai pijakan pembangunan nasional yang betul-betul tersingkronisasi antara pusat dan daerah, serta bersifat jangka panjang hingga tak mudah berganti haluan ketika berganti presiden.

Terkait penguatan dan penataan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Bamsoet menyatakan, baik DPD maupun DPR, "rasa-rasanya belum mencakup seluruh aspirasi yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat,".

Bamsoet, lantas menyinggung aspirasi dari pimpinan PP Muhammadiyah beberapa hari lalu, bahwa ormas Islam besar di Indonesia itu memandang ideal diadakannya kembali apa yang disebut dengan 'Utusan Golongan'. Sebagai pejuang aspirasi kelompok-kelompok tertentu, termasuk kelompok profesi, seperti profesi wartawan.

"Apakah kalian temen-temen wartawan terwakili? Saya wartawan, tetapi saya tak akan pernah bisa mewakili kepentingan wartawan, karena saya lebih kepada kepentingan konstituen," ujar politisi yang juga mantan jurnalis nasional itu.

Terkait dengan penataan sistem perundangan sebagaimana menjadi PR dr MPR periode lalu, Bamsoet mengungkapkan, dirinya memiliki mimpi untuk bisa meninggalkan legacy sebagai Ketua MPR terhadap penyempurnaan atau Amandemen UUD 1945.

"Karena kalau saya melihat bahwa catatan penyusunan amandemen 2002, terakhir kemarin, memang banyak yang nggak sinkron. Tidak juga ada kata-kata 'Pancasila' di dalam pasal-pasal yang ada, padahal sumbernya dari situ," kata Bamsoet.

Ia pun menegaskan, bahwa isu amandemen yang diriuhkan dengan perubahan masa jabatan Presiden, sebetulnya 'tidak ada'. Ia menegaskan, "Pemilihan Presiden yang dilakukan secara langsung oleh rakyat dan maximum menjabat 2 periode adalah hal yang sudah baik, yang patut kita pertahankan,".

Isu terkait presidensialisme itu, juga berkelindan dengan model 'baju hukum' untuk Pokok Haluan Negara yang pada salah satu opsinya memunculkan kekhawatiran bahwa presiden kembali jadi mandataris MPR. Tapi penulis buku politik 'Akal Sehat' ini menegaskan, "kita telah setuju tidak lagi presiden dipilih oleh MPR. Dipilih langsung oleh rakyat,".

"Tetapi ada hal-hal strategis lainnya yang memang harus diambil perannya oleh suatu lembaga lembaga tertinggi. Dimana kalau ada konflik di bawah, kita serahkan pada yang di atas itu, jadi itu bisa ada kesepakatan secara nasional," kata Bamsoet sembari menyinggung kesetaraan antara MPR dengan BPK, ataupun DPR dengan DPD.

Berikutnya, yang menjadi refleksi penting bagi MPR, kata Bamsoet, adalah "bagaimana Indonesia menata dan menjaga ekonomi agar tidak turun di bawah 5%,".

"(Ini, red) PR juga yang tidak kalah pentingnya daripada kita bicara soal politik plus Pilkada serentak pada tahun depan," kata Bamsoet.***