MEDAN - Kekosongan obat di sejumlah rumah sakit, disebabkan manajemen tatakelola yang buruk dan permasalahan keuangan. Demikian hasil riset yang dilakukan Sentra Advokasi untuk Hak dan Pendidikan Rakyat (SahdaR) yang diungkap Rabu (30/1/2019) di Medan.

Peneliti SahdaR, Ibrahim menyebutkan, setidaknya berdasarkan riset yang telah dilakukan, disimpulkan dua masalah tersebut terjadi karena missing case pada pencatatan laporan dan penggunaan obat dan cash flow di fasilitas kesehatan. Situasi kekosongan obat ini merupakan anomali yang berpotensi fraud (penipuan).

"Kondisi pelayanan kesehatan terhadap pasien rawat jalan JKN-KIS yang ingin mengambil obat di Fasilitas Kesehatan seperti sumahsakit dan Pusat Kesehatan Masyarakat (PKM) belum maksimal. Temuan yang didapatkan dari pemantauan di empat Rumah Sakit dan dua PKM menunjukan fakta masih banyak pasien yang tidak mendapat obat," ungkap Ibrahim.

Berdasarkan wawancara mendalam dengan 100 orang pasien yang tersebar di empat rumahsakit dan dua PKM di Kota Medan, tercatat ada pasien pengguna JKN-KIS yang ditemukan tidak mendapatkan obat atau mengalami pengurangan jumlah dari resep seharusnya.

"Hal tersebut paling banyak ditemui pada Rumah Sakit Dr Pringadi Medan, dan Rumah Sakit Swasta Martha Friska Jln Yos Sudarso. Sementara untuk Rumah Sakit Haji Medan, dan PKM Glugur Darat masing masing ditemukan satu orang pasien yang tidak mendapat obat," kata Ibrahim.

Keluhan terkait tidak tersedianya obat yang diperlukan oleh pasien disampaikan oleh salah seorang pensiunan PNS penderita penyakit ginjal di RS Dr Pringadi Medan, Zay (63).

“Aku sudah pasrah nak, mungkin udah waktunya aku ini mati aja, lihatlah udah menunggu lama sejak pagi, sampai siang ini pun tidak dapat obat lagi," ucapnya sambil menangis.

Tidak hanya Zay, pasien lain yang diwawancarai, RR seorang Ibu rumahtangga menyebutkan ada informasi yang kurang soal bon obat.

"Saya sering menelpon ke rumah sakit perihal bon obat ini, tapi tidak pernah ada kejelasan dari pihak rumah sakit. Padahal keterangannya, obat bisa diambil setelah tiga hari atau seminggu. memang obatnya tidak berapa mahal tapi karena rumah sakit sudah janji ya saya tagih saja, namun tidak pernah dapat," kata RR.

Ungkapan kemarahan pasien terhadap situasi ini sempat terjadi pada saat dilakukan observasi di Rumahsakit Martha Friska di kawasan Medan Deli.

Rahmat (54) penderita penyakit syaraf terjepit mengeluhkan buruknya manajemen rumah sakit tersebut.

SahdaR menemukan cara yang digunakan petugas farmasi rumahsakit ketika tidak bisa menyediakan obat untuk pasien. Yakni memberikan bon obat, dan menginformasikan bila stok obat sudah tersedia, pasien bisa kembali untuk mengambil obat yang dibutuhkan.

Namun praktik bon dan penebusan obat dinyatakan oleh pasien pengguna JKN tidak pernah terjadi.

Tercatat, tidak tersedianya obat pada fasilitas kesehatan di Kota Medan terjadi pada 38 penyakit di antaranya adalah obat-obatan untuk penyakit kronis dan menular, seperti gangguan jantung, ginjal, asthma dan TBC.

Tidak tersedianya obat pada fasilitas kesehatan diakui oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit Dr Pirngadi Medan bernama Yolanda.

“Apabila masalah ini terjadi kami mencari obat pengganti dengan kegunaan yang sama, sehingga pasien tetap mendapat obat,” ungkapnya.

Sementara Rumah Sakit Haji Medan, dan Martha Friska sampai saat publikasi ini disampaikan, belum bersedia diwawancarai karena mengaku sibuk dengan laporan dan kredensial.

Kesimpulan awal yang diuji SahdaR terhadap situasi kekosongan obat ini ada tiga.

Pertama, RKO (Rumusan Kebutuhan Obat) fasilitas kesehatan yang tidak tepat dan tidak dikirimkan ke Kementrian Kesehatan. Kedua, distribusi obat oleh Distributor dan PBF tidak lancar.

"Ketiga, keuangan fasilitas kesehatan yang tidak sehat karena klaim pembayaran oleh BPJS tersendat," kata Ibrahim.

Namun, pihak-pihak yang dikonfirmasi seperti Seksi Kefarmasiaan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara Nelly mengungkapkan RKO obat sudah dikirimkan 100%.

Sementara Kepala BPJS Kesehatan Cabang Medan Ari Dwi, menyebutkan bahwa permasalahan kekosongan obat tidak bisa serta merta disebabkan karena klaim pembayaran yang diajukan oleh rumah sakit terlambat dibayarkan.

"Sebelum berjalannya BPJS rumah sakit sudah berhutang," ungkap Ari Dwi.

Lebih lanjut para distributor obat yang juga diriset SahdaR menyebutkan bila distributor obat tidak bisa menyediakan obat, pihaknya bisa mendapat sanksi dan denda yang tidak sedikit.

“Kalaupun ada distributor yang tidak memiliki obat, pihak fasilitas kesehatan bisa memesan ke vendor lain, tidak mungkin semua vendor di Sumatera Utara tidak punya obat secara bersamaan, kalaupun ada masalah ketersediaan obat, itu terjadi karena hutang belum dibayarkan, makanya dis tidak lagi memberikan obat,” ungkapnya.

Dengan demikian, SahdaR menyimpulkan, faktor yang paling dominan penyebab tidak tersedianya obat di fasilitas kesehatan adalah missing case pencatatan laporan dan penggunaan obat.

Hal ini lah yang menurut Ibrahim harus segera diselesaikan, karena secara sistematis masalah pada pencatatan dan penggunaan obat berkaitan dengan potensi ketidaktepatan pengajuan klaim.

Dimana hal tersebut bisa berpotensi fraud dan berdampak pada keberlangsungan program Jaminan Kesehatan Nasional yang setiap tahunnya mengalami defisit semakin besar.

Dampak dari situasi tidak tersedianya obat ini mengakibatkan kerugian terhadap pasien.

"Banyak pasien yang posisinya lebih lemah dari rumah sakit harus mengelurkan uang tambahan untuk membeli dan mendapatkan obat yang mereka butuhkan, tercatat beberapa pasien dengan penyakit kronis yang kami wawancarai seperti harus mengelurkan uang sebesar Rp200.000 untuk sekali pembelian obat obatan di apotek.

Hal ini menjadi beban domestic rumah tangga bagi pasien. "Lebih jauh hal ini menjadi indikator bahwa komitmen pemerintah pada jaminan ksehatan semesta atau Universal Health Coverage belum maksimal," tukas Ibrahim.*