MEDAN - Selain sumber daya alam yang melimpah, Sumatera Utara juga kaya akan produk pertanian lokal. Hanya saja selama ini belum mampu dikemas dengan baik, sehingga tidak mempunyai nilai tambah. Menilik potensi ini, pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumut nomor urut satu, Edy Rahmayadi dan Musa Rajekshah (Eramas) sudah menyusun program peningkatan nilai jual hasil produk pertanian dan perikanan Sumut hingga keluar negeri.

"Selama ini kelemahan Sumut dan umumnya di Indonesia, pengelolaan produk-produk unggulan yang tidak punya nilai tambah. Sehingga karena packaging dari produk kita tidak ada, nilai jualnya menjadi murah. Ini yang membedakan produk kita dengan peoduk luar negeri," kata Wakil Ketua Tim Pemenangan Eramas, Sugiat Santoso kepada wartawan baru-baru ini.

Ia mencontohkan, seumpama Sumut punya keunggulan produk cokelat tapi lantaran tidak dijadikan sebuah industri, produk tersebut menjadi kurang bernilai.

"Coba kita bandingkan seperti Swiss yang tidak punya satu rantai kebun cokelat, tapi kenapa produk cokelat di sana lebih dikenal. Itu karena mereka mampu mengemas produknya itu dengan baik," ujarnya.

Ke depan, untuk banyak produk unggulan pertanian di Sumut, pasangan Eramas punya semangat meningkatkan kualitas dan packaging terhadap produk yang dihasilkan tersebut.

"Artinya kita tidak lagi berfikir menjual dan menghasilkan produk mentah, melainkan bisa diekspor dan dimodernisasi sehingga harganya menjadi mahal," kata Wakil Ketua Gerindra Sumut itu.

Ia mengamini bahwa salah satu program unggulan Eramas jika diberi kepercayaan memimpin Sumut hingga 2023 mendatang, akan meningkatkan nilai produk pertanian, perikanan dan potensi kelautan sehingga dapat bernilai ekspor.

"Apalagi menyikapi persaingan di era masyarakat ekonomi Asean seperti sekarang ini," pungkasnya.

Berdasar amatan dan catatan wartawan, selama berkampanye dan menyapa warga di berbagai daerah di Sumut, Eramas senantiasa menggaungkan visi misi dan program kerja unggulan jika nanti terpilih melanjutkan roda pemerintahan di provinsi ini.

Antara lain akan mengurangi tingkat pengangguran dengan membuka banyak lapangan kerja, peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan, membenahi infrastruktur, meningkatkan daya saing sumber daya manusia hingga peningkatan di bidang pertanian, perikanan serta peternakan.

Peneliti Candidate Center, Ade Budiman sebelumnya mengungkapkan, Sumut membutuhkan sosok gubernur yang mengerti akan problematikanya dan berkomitmen untuk memberikan jalan keluar kepada masyarakatnya secara konsisten dan nyata tanpa tersandera dengan kepentingan kelompok manapun.

"Menurunnya kepercayaan rakyat kepada pemimpin daerah ini, memunculkan stigma bahwa siapapun gubernurnya, Sumut akan selalu stagnan. Kondisi ini merupakan salah satu faktor utama menurunnya partisipasi publik dalam menentukan calon kepala daerah melalui proses pemilihan langsung," katanya.

Ade berpandangan ada delapan permasalahan yang sedang dihadapi masyarakat Sumut sepanjang 2010 sampai 2018. Yakni pengangguran, daya saing, korupsi, kriminalitas, keamanan, narkoba, kemiskinan, dan infrastruktur.

"Berdasarkan data pusat statistik tingkat pengangguran terbuka di Sumut periode Agustus 2017 naik 5.000 orang atau menjadi 377.000 orang dari periode yang sama pada 2016 sebesar 372.000 orang. Hal ini karena didorong rendahnya penciptaan lapangan kerja, baik sektor formal maupun informal. Terlebih angka ini didominasi usia produktif 20-30 tahun yang meningkat tajam mencapai 156.630 orang," katanya.

Lemahnya daya saing Sumut, imbuhnya menjadi salah satu faktor keterlambatan pertumbuhan daerah ini. Berdasarkan data BPS 2014, Sumut berada di peringkat ke-14, kemudian 2015 berada pada peringkat ke-15 sedangkan pada 2016 merosot tajam ke peringkat 24 sebagai salah satu provinsi yang berdaya saing lemah.

"Lalu persoalan korupsi (kepala daerah yang tersandera). Yakni dalam dua kali perhelatan Pilkada langsung, bisa dipastikan hampir semua visi dan misi yang dicanangkan gubernur terpilih tidak tuntas karena terlanjur berurusan dengan masalah hukum," katanya.

Dalam skala masyarakat Sumut yang multikultural dan heterogen, menurutnya tentu tidaklah mudah mengatur provinsi yang pernah menjadi tiga besar di lndonesia ini. Terutama terkait tiga persoalan pokok yang mesti dituntaskan dan dicarikan solusi oleh Gubsu baru periode 2018-2023.

"Hampir 13 tahun lamanya Sumut tidak punya arah yang jelas dalam pembangunan terkait dengan permasalahan kepemimpinan. Faktanya bisa kita lihat dari kondisi infrastruktur yang ada, termasuk masalah kelistrikan yang tidak tuntas hingga menyebabkan terjadinya biaya ekonomi tinggi di wilayah Sumut. Lemahnya daya saing daerah yang terus terdegradasi bila dibandingkan dengan provinsi lain yang ada di Indonesia," katanya.