JAKARTA - Ketua Bawaslu RI, Abhan melaporkan Sekretaris Jenderal DPP Partai Solidaritas Indonesia, Raja Juli Anthoni dan Wakil Sekjen PSI Chandra Wiguna ke Bareskrim Polri atas dugaan pelanggaran pidana Pemilu, pada Kamis (17/5/2018). Keduanya diduga telah melakukan perbuatan pidana Pemilu kampanye di luar jadwal yang telah ditentukan penyelenggara Pemilu. Ancaman hukuman untuk perbuatan tersebut adalah pidana kurungan selama 1 tahun dan denda paling banyak Rp12 juta.

Menanggapi hal itu, Praktisi hukum Pemilu, Ahmad Irawan mengatakan, dalam perspektif kerangka dan tekhnis pengawasan, jika memang yang diteruskan ke Kepolisian oleh Bawaslu merupakan produk temuan, maka tentunya patut diapresiasi.

"Mengingat temuan merupakan hasil pengawasan aktif pengawas Pemilu. Apalagi hasilnya menyasar petinggi partai peserta Pemilu, sesuatu yang hampir mustahil terjadi sebelumnya," kata Irawan kepada Wartawan di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (18/5/2018).

Menurut Irawan, Bawaslu RI telah menyimpulkan perbuatan Anthoni dan Chandra merupakan pidana Pemilu. 

Maka, menurut penalaran yang wajar dan berdasarkan konstruksi dan keberadaan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) sebagai tempat bernaung untuk menyamakan pola dan pemahaman mengenai pidana pemilu di antara pengawas, penyidik dan jaksa, maka adanya temuan tersebut tentunya melalui proses pendampingan dan pembantuan penyidik dan jaksa yang tergabung dalam Sentra Gakkumdu. Jadi bukan laporan masih mentah.

"Maka dugaan saya, Penyidik dan Jaksa telah memiliki sikap pemahaman yang sama dengan Pengawas bahwa keduanya telah melakukan tindak pidana," ujar Irawan.

Menurut dia, penyidik dan jaksa saat ini tinggal melakukan pemberkasan saja untuk dilakukan penuntutan di pengadilan. Karena prosedur di Gakkumdu di antara pengawas, penyidik dan jaksa telah melakukan pembahasan berulang-ulang terhadap perkara secara formil dan materiil. 

Dengan demikian, cepat atau lambat keduanya akan menghadapi proses hukum hingga di Pengadilan. Nantinya pengadilan yang bewenang memutus dan mengadili apakah keduanya benar bersalah atau tidak.

Lebih lanjut, Irawan mengatakan, penegakan hukum Pemilu, khususnya mengenai kampanye sebelumnya selalu "dimandulkan" dengan akal-akalan partai yang mengatakan tidak terpenuhinya secara kumulatif unsur kampanye. 

Hal mana pada peristiwa hukum ini juga dijadikan alasan oleh PSI dan mengatakan apa yang dilakukan merupakan pendidikan politik.

"Mungkin mereka lupa kampanye itu memang bentuk pendidikan politik. Partai politik memang memiliki fungsi tersebut. Tetapi setelah menjadi peserta pemilu, mereka terikat aturan dan tidak bisa melakukannya kapan saja dan dimana saja," tutur Irawan.

Irawan mengingatkan, terdapat waktu pelaksanaan kampanye agar setiap partai mendapatkan keadilan dan hal-haknya sebagai peserta pemilu. Hal mana waktu pelaksanaan kampanye tersebut pada pokoknya harus dilakukan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan oleh penyelenggara.

"Selain itu, akal-akalan ini mungkin melupakan satu hal bahwa rumusan kampanye telah bergeser sifatnya menjadi imperatif-alternatif," kata Irawan.

"Jadi tidak perlu lagi ada pembuktian secara kumulatif bahwa yang dimaksud kampanye harus ada visi, misi dan program dalam sebuah kegiatan untuk disebut sebagai kampanye," imbuh Irawan.***