BOGOR - Sebanyak 145 jurnalis dari Sabang hingga Merauke menyatakan sikap dan menolak pemberlakuan Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3). Pasalnya, keberadaan undang-undang ini dapat mengekang kemerdekaan pers di tanah air.

“Kami menolak UU MD3, sebab dipahami berpotensi mengekang kemerdekaan pers,” kata perwakilan jurnalis Indonesia, Fernandus Yusi Adam saat membacakan pernyataan sikap tentang MD3 di hadapan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi RI, Dr. Anwar Usman, S.H., M.H dalam penutupan sosialisasi peningkatan pemahaman hak konstitusi warga negara bagi wartawan media massa cetak, tv, radio dan online se-Indonesia di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Cisarua, Bogor yang diselenggarakan MK bekerjasama dengan Dewan Pers, Kamis (1/3/2018).

Sementara itu, Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi RI, Dr. Anwar Usman, S.H., M.H belum bisa berkomentar banyak terkait penolakan atas UU MD3. Sebab, hal itu karena MK sudah menerima tiga permohonan yudicial riview terkait UU MD3 dari masyarakat.

“Karena kami telah menerima tiga permohonan judicial review tentang MD3. Tetapi terlepas ditandatangani atau tidak, 30 hari jelas dinyatakan sah,” kata Anwar.

Anwar juga meminta seluruh pihak agar menghormati pers. Ia menyebutkan ada beberapa undang-undang yang krusial untuk direvisi dianggap mengekang kemerdekaan pers dan hak konstitusional warga negara.

Menurut Anwar, profesi wartawan yang memiliki pengaruh besar terhadap dunia. Dikatakannya, pena seorang wartawan luar biasa.

Sementara itu, Kepala Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Budi Achmad Djauhari berharap kegiatan yang berlangsung selama empat hari itu mampu memberikan pemahaman kepada kurang lebih 146 peserta yang berprofesi sebagai wartawan di Indonesia.

“Mudah-mudahan pemahaman peserta terhadap konstitusi khususnya hak konstitusional warga Negara makin meningkat, tidak hanya untuk kopetensi pribadi namun dapat disebarluaskan ke masyarakat dan lingkungan pada umumnya,” tandasnya.

“Para wartawan juga diharapkan bisa menjadi sahabat MK yang dapat meningkatkan akses masyarakat untuk mendapatkan keadilan dan mempermudah masyarakat terhadap lembaga peradilan,” katanya.

Sebelumnya, Dewan Pers juga menyatakan sikap menolak revisi Undang-undang MD3 yang tengah dilakukan DPR RI. Dewan Pers menilai revisi UU MD3 ini membuat blunder terhadap kerja kalangan pers dan lebih kejam dari era kolonial.

Menurut Ahmad, saat ini kerja kalangan pers dibayang-bayangi dengan hadirnya revisi UU MD3. Kalangan DPR RI berusaha membatasi ruang gerak pers untuk melakukan kontrol sosial. Untuk itu Dewan Pers secara tegas menyatakan sikap menolak UU tersebut karena lebih kejam dari era kolonial. Pers jangan dijadikan pesakitan tetapi harus diberi ruang kritik bukan dibatasi.