MEDAN - Salah satu toko belanja online di Medan, diduga melanggar aturan terkait persaingan usaha. Toko belanja online berinisial D tersebut, kini sedang dibidik Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Kantor Perwakilan Daerah (KPD) Medan. “Kita sedang selidiki tentang syarat perjanjian toko belanja online tersebut dengan pelaku usaha. Sebab, diduga toko online tersebut hanya membolehkan pelaku usaha berkontrak dengannya. Sedangkan toko online lain dilarang,” ungkap Kepala KPPU KPD Medan, Ramli Simanjuntak, akhir pekan ini.

Sebagai contoh, sebut Ramli, toko belanja online 1 membuat ketentuan apabila masuk di toko onlinenya ada perjanjian khusus. Perjanjian itu melarang berkontrak dengan toko online lain.

Jika kedapatan berkontrak dengan toko online lain, maka kerja sama pelaku usaha tersebut diputus.

“Saat ini kami masih meneliti dugaan adanya pelanggaran persaingan usaha. Oleh sebab itu, belum bisa dikatakan apakah itu melanggar atau tidak,” sebutnya.

Ramli mengaku, pihaknya pernah meneliti kasus yang tak jauh berbeda. Misalnya, pelaku usaha Z boleh menyuplai ke toko online O dengan harga Rp10.000.

Akan tetapi, pelaku usaha Z tidak boleh berkontrak dengan toko online lain dan harga di bawah Rp10.000. Tentunya, ini merupakan syarat perjanjian yang tidak fair.

Padahal, sah-sah saja pelaku usaha Z berkontrak dengan toko online lain yang kecil dan harganya di bawah Rp10.000.

“Masih dikaji lebih dalam tentang ketentuan atau perilaku bisnis yang diterapkan toko online yang diduga melanggar, apakah salah dalam segi persaingan atau tidak. Dengan kata lain, mendiskriminasi atau menghalangi pelaku usaha mengembangkan bisnisnya,” terang Ramli.

Lebih lanjut dikatakannya, regulasi yang ada saat ini belum mengatur secara detail menyangkut persoalan yang sedang diteliti. Sebab, kontrak yang dilakukan toko belanja itu apakah menjadi syarat yang eksklusif, sehingga membatasi klien atau pelaku usaha untuk berkontrak dengan yang lain dalam memasarkan produknya.

“Persoalan ini terkait konteks prinsip dalam perundangan-undangan persaingan usaha, dimana tidak boleh mendiskriminasi atau menghalangi pelaku usaha dalam berbisnis. Persoalan ini pun masuk dalam perjanjian kemitraan,” paparnya.

Ia menambahkan, kasus ini belum pernah terjadi sebelumnya sehingga harus diteliti secara benar-benar.

“Kalau pun nantinya tidak bisa ditindaklanjut, maka bisa membuat rekomendasi agar dibuat regulasinya. Sebab, bisnis online saat ini sangat booming. Maka dari itu, jangan sampai terlewatkan seperti persoalan angkutan berbasis online yang kini masih menuai pro kontra,” imbuhnya.