MEDAN-Menyikapi APBD Sumut Tahun Anggaran 2018 yang telah disahkan, Kelompok Cipayung Plus yang terdiri dari HMI Sumut, PMII Sumut, dan GMKI Sumut menggelar diskusi publik di Medan.

Diskusi mengangkat tema ‘APBD Sumut 2018 Untuk Siapa?’ dihadiri narasumber seperti Pengamat Anggaran Sumut, Elfenda Ananda, Pengamat Politik Sumut, Dadang Darmawan, Anggota DPRD Sumut Fraksi PDI-P, Sutrisno Pangaribuan, Anggota DPRD Sumut Fraksi PKS, Ikrimah Hamidi, dan Ketua Umum Badko HMI Sumut, Septian Fujiansyah Chaniago.

Elfanda dalam pemaparannya mengatakan, sangat wajar jika pembahasan R-APBD Sumut Tahun Anggaran 2018 dan pengesahannya mendapat protes dari banyak pihak. Sebab, pembahasan hanya memakan waktu yang sangat singkat. Padahal banyak program yang seharusnya dibahas secara komprehensif dan mendalam.

"APBD yang nilainya lebih kurang Rp 13 triliun itu tentunya banyak item program yang harus dibahas secara mendalam. Dalam APBD Sumut itu mengalami defisit, pendapatan lebih rendah dari belanja. Kalau berdasarkan dokumen, pendapatannya Rp 12 triliun lebih, belanjanya Rp 13 triliun. Jadi ada defisit sekitar 700 miliar," katanya.

Disebutkan, walau masyarakat telah memberi banyak kontribusi dalam meningkatnya pendapatan asli daerah, APBD Sumut Tahun Anggaran 2018 lebih menitikberatkan pengalokasian anggaran pada belanja tidak langsung jelas merupakan suatu hal yang mencederai masyarakat.

"Belanja itu mengalami peningkatan. Meningkat Rp 7,2 miliar atau 0,5 persen. Dalam belanja itu ada belanja langsung dan tidak langsung. Kalau kita bandingkan dengan pendapatan, hubungannya dengan peningkatan belanja masyarakat itu tidak seimbang. Justru masyarakat di sini dicederai," sebutnya.

Sementara Dadang berpandangan, pada proses pembahasan hingga pengesahan APBD Sumut Tahun Anggaran 2018, muncul indikasi telah terjadi praktik politik anggaran di dalamnya. Pihak yang paling diuntungkan dalam hal tersebut adalah Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) sementara yang paling dirugikan adalah masyarakat.

"Secara teori, politik anggaran itu maknanya adalah adanya kontestasi di antara pemangku kepentingan, dalam rangka mengalokasikan anggaran sesuai dengan kepentingan masing-masing. Jadi politik anggaran itu intinya bagaimana sekurang-kurangnya ada empat kelompok di APBD Sumut yang saling berebut alokasi anggaran," ucapnya.

Sementara Sutrisno Pangaribuan mengatakan, saat itu banyak anggota DPRD Sumut terpaksa mengikuti pembahasan R-APBD Tahun Anggaran 2018 secara cepat-cepat. Faktor utama yang menyebabkannya adalah surat dari Mendagri yang menyatakan APBD 2018 harus segera disahkan.

"Ada surat dari Mendagri, sesuai UU No 23 Tahun 2014 bahwa pengesahan APBD 2018 selambat-lambatnya satu bulan sebelum anggaran tahun sebelumnya berakhir, mestinya 30 November sudah disahkan. Kemudian ada suasana yang berhasil ditakut-takuti, diteror dengan surat Mendagri itu. Lalu kami sebagian kelompok terpaksa melakukan tahap pembahasan APBD secara cepat-cepat," katanya.

"Oleh karena itu, berdasarkan banyak persoalan yang telah diungkapkan oleh para narasumber untuk mengajak seluruh masyarakat, khususnya mahasiswa untuk kritis terhadap APBD Sumut Tahun Anggaran 2018 itu," tambahnya.

Cipayung Plus Sumut akan menjadikan hasil diskusi tersebut sebagai rekomendasi yang akan dikirimkan kepada Mendagri, agar segala kesalahan yang ada pada APBD Sumut Tahun Anggaran 2018 dievaluasi dengan sebenar-benarnya.

"Hasil diskusi ini akan kita kirimkan ke Pak Mendagri sebagai rekomendasi atau bahan pertimbangan dalam evaluasi APBD Sumut 2018," pungkas Septian.