JAKARTA - Konflik yang melibatkan etnis Rohingya dan Myanmar di Rakhine harus dihentikan. Dunia internasional harus mengambil sikap untuk berperan serta menuntaskan persoalan kemanusiaan itu.

Wakil Ketua DPD Nono Sampono menyatakan, persoalan Rohingya muncul terkait dengan proses peradaban dunia. Di belahan dunia lain juga pernah terjadi konflik yang sama.

"Jadi ini gunanya internasional melindungi agar dunia hidup dalam kerukunan dan kedamaian," tegas Nono saat diskusi dengan Komnas HAM, UNHCR dan akademisi Universitas Indonesia Maswardi Rauf, Senin (11/9) di gedung parlemen, Jakarta.

Dia memahami, Myanmar saat ini juga dalam proses peralihan dari kekuasaan militer ke demokrasi. Menurut dia, sudah menjadi tugas Indonesia sebagai soko guru Asean untuk membantu Myanmar menyelesaikan persoalan.

Dia menegaskan, bukan berarti Myanmar harus menjadi musuh Indonesia. Myanmar sebagai bagian dari Asean juga harus dibantu. "Mereka dalam posisi tidak berdaya. Kondisi mereka sedang berproses. Reformasi sedang bergulir," katanya.

Menurut dia, pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi saja sampai saat ini belum bisa secara de facto memimpin. Memang Aung terpilih dalam pemilu, tapi tidak punya hak banyak di pemerintahan. Meski demikian, Nono menyatakan harus ada kearifan dari Aung. "Sampai sekarang dia (Aung) tidak punya hak apa-apa memerintah, apalagi menguasai tentara," kata Nono.

Akademisi Universitas Indonesia Maswardi Rauf menuturkan, Indonesia perlu menggerakkan dan mendorong dunia internasional terutama PBB untuk menghentikan konflik di Rakhine.

"Kita punya wakil di PBB. Lakukan lobi menggunakan Asean mendorong PBB membicarakan dan mendesak Myanmar melakukan perundingan," kata Maswardi di kesempatan itu.

Dia setuju bahwa pemerintah tidak boleh bersikap emosional dalam penyelesaian konflik Rohingya. Menurut Maswardi, jangan juga sampai bergerak karena menonjolkan kepentingan agama tertentu. "Tapi lebih kepada persoalan HAM dan kepentingan umat manusia. Bukan Indonesia bergerak karena Islam, tapi melihat bergerak karena ada persoalan HAM di Myanmar," katanya.

Dia khawatir kalau bergerak karena menonjolkan kepentingan Islam, konflik bukan melunak tapi malah semakin keras. "Jadi harus bagaimana persuasif dan masuk akal mendorong Myanmar mendorong hentikan kebijakan intoleran terhadap minoritas," paparnya.

Dia menyatakan, harus dilakukan diplomasi terbuka menggunakan akal sehat meminta Myanmar adil terhadap minoritas.

"Pemerintah Myanmar mesti toleran dan melindungi kelompok minoritas," katanya. ***