JAKARTA - Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan uji materi terhadap UU 13/2012 tentang Keistimewaan (UUK) Daerah Istimewa Yogyakarta pada 31 Agustus 2017 lalu. Putusan dengan nomor 88/PUU-XIV/2016 itu berimplikasi pada dimungkinkannya kaum perempuan menjadi gubernur Yogyakarta.

"Jadi putusan MK bersifat final dan mengikat, yang otomatis perempuan bisa menjadi gubernur Yogyakarta. Dan secara teknis tak ada hubungannya dengan aturan internal Keraton Yogyakarta," jelas Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy dalam diskusi 'Dampak Dikabulkannya Gugatan UU 13/2012' di Komplek Parlemen, Jakarta (Selasa, 5/9).

Terkait hal itu, dia menyarankan agar DPRD dan pemerintah setempat mengubah peraturan daerah yang mensyaratkan mempunyai istri itu dirubah. Sebab, perda itu tidak boleh bertentangan dengan UU, dan keluarga keraton juga harus mengubah aturan internal keluarga.

Perubahan itu antara lain kalau selama ini gubernur dan Sultan Yogyakarta itu laki-laki, maka dengan putusan MK jika sultannya seorang perempuan (Sulthanah) maka bisa menjabat gubernur. 

"Inilah yang sangat tergantung kepada aturan internal keluarga keraton sendiri," kata Lukman.

Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu mengakui jika masalah ada di internal keluarga keraton sendiri terjadi perbedaan pendapat soal khalifah, sultan, dan gubernuran. Di mana, secara kultural, sultan tidak pernah dijabat oleh seorang perempuan.

Dengan demikian, putusan MK tersebut sudah berlaku tanpa harus menunggu revisi UUK DIY. Untuk itu, putri Sultan Hamengkubuwono X bisa menjadi gubernur. Di mana, putusan MK itu tidak bertentangan dengan undang-undang, dan bukan hanya terkait wilayah namun juga produk hukumnya. 

"Kalau tak sejalan dengan undang-undang harus dirubah. Tapi, itu tergantung kepada keluarga keraton," demikian Lukman.***