PEKANBARU - Riau mulai kecolongan, dari diduga sebagai tempat tumbuh suburnya para pelaku terorisme, kini di Riau juga mulai merebak kasus-kasus ujaran kebencian seperti dibongkarnya kasus media online Saracen Pekanbaru yang diduga menjadi organisasi untuk menyebarluaskan ujaran kebencian. Meski begitu, bak kata pepatah, ada gula ada semut, menjamurnya media online di Riau tanpa seleksi, justru bukan karena ulah orang media, tapi ulah humas-humas instansi maupun perusahaan di Riau. ''Menurut saya, kasus seperti Saracen ini sudah bisa diprediksi jauh-jauh hari. Media online tumbuh subur karena ulah oknum humas-humas pemerintah, instansi dan perusahaan di Riau yang diduga dengan sengaja memeliharanya. Banyak media online bekerjasama dengan humas-humas ini, tanpa melihat kenyataan yang sebenarnya,'' ujar Ahli Pers Dewan Pers dari Riau, Mario Abdillah Khair SH kepada GoRiau.com, Kamis (24/8/2017).

Menurutnya, ulah oknum-oknum humas yang berharap ''bagi hasil'' dari nilai kerjasama yang dikelolanya, menyebabkan oknum-oknum ini tutup mata dengan keberadaan media online.

''Jadi boks redaksi fiktif, alias asal buat nama orang ini bukan saja dilakukan oleh media online Saracen. Salah anda, kalau bilang hanya Saracen yang melakukan. Menurut saya, hampir 90 persen boks redaksi media online di Riau fiktif. Nama ada, tapi orangnya tidak ada, atau yang punya nama tidak tahu ada namanya di boks redaksi media, atau namanya samaran yang jika diverifikasi orangnya tidak ada,'' ujar Mario yang juga beberapa kali dipercaya Dewan Pers untuk melakukan penelitian tentang Pers di Riau.

Dijelaskan Mario, bukan rahasia lagi kalau pola kerja media online di Riau merupakan pola ''bagi hasil'' antara humas dan media. Dimana umumnya pakai istilah fifty-fifty, umpamanya nilai kerjasama Rp 4 juta, maka yang diterima media biasanya hanya separo, dan separonya untuk humas.

''Jadi humas-humas ini nyamannya memang kerjasama dengan media fiktif, karena gampang bagi hasilnya. Kalau sama media yang resmi itu berat, bisa-bisa tidak ada bagian untuk mereka,'' jelas Pimpinan Umum PotretNews.com ini.

Karena itu, tambah Mario, bukan untuk membela Saracen, tapi seharusnya pihak aparat keamanan khususnya kepolisian baik di pusat dan daerah, harusnya fokus memberantas akar masalahnya, yaitu oknum humas-humas pemerintah, instansi dan perusahaan. Karena ulah oknum-oknum humas inilah akhirnya media online tidak lagi melahirkan karya-karya jurnalistik yang mumpuni, tapi justru berkolusi dengan humas untuk membangun pundi-pundi pemasukan. Dan yang tidak dapat, buat kegiatan diluar media seperti Saracen ini.

''Polisi jangan tutup mata dengan akar masalah media online di Riau. Seharusnya setiap pencairan kerjasama media online, aparat kepolisian ada disana, mereka harus mengintai humas, awasi mereka, karena ini gudangnya kolusi. Dan sebelum proses itu, pihak kepolisian harus mendapatkan data lengkap semua media online di Riau. Daftarnya ada pada humas-humas bukan ke organisasi pers baik provinsi maupun kabupaten. Karena jumlah media online yang sebenarnya itu ada di humas-humas. Jadi menurut saya, polisi harus menumpas akar masalahnya, bukan medianya, kalau per media maka kasus seperti ini tidak akan pernah selesai karena media itu cuma rantingnya, akarnya di humas atau pemerintah,'' tegasnya.

Segera Melapor dan Humas Harus Berpedoman Pada Konten

Sementara itu, Presedium Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Riau, Fakhrurodzi Baidi menjawab GoRiau.com mengatakan, persoalan Saracen ini bisa dibagi dalam dua penyelesaian. Pertama khusus untuk wartawan yang namanya dicaplok seperti Zukri Subayang, harus segera melapor ke pihak kepolisian dan menjelaskan bahwa dirinya bukanlah anggota redaksi dari Saracennews.com.

''Kalau Zukri tidak melapor, dia bisa kena pasal ikut serta. Tapi kalau dia segera membuat laporan ke kepolisian, keikutsertaannya di Saracen bisa gugur. Sekaligus laporan ini untuk membantah claim dari pihak Saracen,'' jelas Pemimpin Umum RiauOnline.co.id ini.

Kedua, untuk masyarakat dan stakeholder seperti humas-humas pemerintah, instansi dan swasta harus kembali melakukan verifikasi media online di Riau sesuai dengan tugas dan fungsi jurnalistik, bukan hanya administratif.

''Media itu harus punya kantor yang jelas dan struktur yang jelas, dan yang lebih penting melakukan proses jurnalistik yaitu menghimpun, mengolah dan menyebarluaskan informasi. Humas harus tahu, jurnalistik itu bukan badan hukum perseroan saja, tapi hakekatnya adalah fungsi-fungsi jurnalistik. Izin usaha harus PT (Perseroan Terbatas) itu hanya administratif usaha, tapi yang lebih dikedepankan adalah karya jurnalistik. Jika humas bekerjasama dengan perusahaan pers yang tidak pernah melahirkan karya jurnalistik sendiri atau mandiri, itu ya bisa jadi istilah media peliharaan humas itu memang terjadi,'' jelasnya.

Karena itu, sesuai dengan hasil Kongres AMSI pertama di Jakarta, sudah ditetapkan bahwa media pers harus melahirkan karya-karya jurnalistik yang mandiri, jika melakukan pengutipan harus memuat dua hal yaitu sumber dan backlink. ''Jadi tidak hanya wajib menyebut sumber, tapi juga harus membuat backlink di berita yang dikutip,'' ujarnya.

Karena itu, Humas-humas di Riau seharusnya tidak hanya berpedoman pada akta pendirian perusahaan dan izin-izin, tapi harus melihat dan melakukan cross cek apakah benar media yang bekerjasama itu memiliki wartawan sendiri, menulis berita original, wartawannya tidak rangkap dengan media lain dan karya jurnalistiknya disebarkan dengan benar. Dan di boks redaksinya harus dipastikan orang-orangnya tidak fiktif dan dinyatakan benar.

''Ini menyangkut pertanggungjawaban hukum dari karya jurnalistik. Kalau legal formal perusahaan media bisa saja, 1000 media pun bisa dibuatkan aktanya, tapi karya jurnalistiknya mana?'' tutupnya. ***