AKSI penyerangan di Polda Sumatera Utara (Sumut), yang menewaskan satu anggota polisi menimbulkan sejumlah keanehan dan pertanyaan. Dari kasus ini, terlihat betapa lambannya respon kepolisian, betapa cerobohnya jajaran Polda Sumut dalam melindungi keamanan markasnya. Hal ini |disampaikan Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane, dalam keterangan pers, Selasa (27/6/2017).

Dikatakan Neta, informasi yang diperoleh IPW, setelah pulang dari Suriah beberapa waktu lalu, pelaku teror terlihat memasang logo ISIS di rumahnya. Warga dan Polmas setempat sudah melaporkannya ke polsek. Tapi tidak ada tindakan atau antisipasi yang dilakukan polsek.

“Semua laporan dibiarkan hingga terjadi serangan teror yang dilakukan pelaku. Setelah ada serangan, barulah polisi sibuk mengeledah rumah pelaku,” kata Neta.

Rendahnya sikap respon jajaran kepolisian terlihat juga saat kedua pelaku masuk ke lingkungan Polda Sumut dan melakukan serangan kepada polisi yang piket, hingga seorang polisi tewas terbunuh.

Neta mempertanyakan mengapa kedua teroris itu bisa dengan mudah masuk ke lingkungan Polda Sumut di pagi buta. Apalagi disebut-sebut kedua teroris itu masuk dengan cara memanjat pagar. Lantas mengapa tidak ada satu pun polisi yang melihatnya. Bukankah, lanjutnya, di setiap markas kepolisian, seperti polda, selalu ada anggota polisi yang piket dan menjaga markas.

“Apakah petugas jaga tidak berpatroli untuk menjaga markasnya? Apakah di lingkungan Polda Sumut tidak ada CCTV sehingga teroris bisa dengan leluasa masuk dan melakukan serangan. Apakah para polisi yang berjaga di pos penjagaan itu sedang dalam keadaan tidur, sehingga kedua teroris dengan gampang melakukan serangan dan membunuh polisi dengan sebilah pisau dapur?” tanya Neta.

Bagaimana pun, serangan teror di markas Polda Sumut ini patut menjadi pelajaran berharga bagi Polri secara keseluruhan, untuk kemudian mengevaluasi semua sistem keamanan seluruh kantor kepolisian di negeri ini.

“Apakah semua kantor polisi sudah memiliki CCTV? Apakah petugas piket benar benar berjaga atau tidur? Apakah tidak diterapkan patroli untuk penjagaan terhadap markas? Jika terhadap markasnya saja tidak disiplin berpatroli, bagaimana polisi bisa diharapkan disiplin berpatroli untuk menjaga keamanan masyarakat,” kata Neta.

Lalu, lanjutnya, pernahkah para pimpinan kepolisian, terutama para kapolda melakukan sidak pada tengah malam atau dinihari ke pos-pos penjagaan kepolisian. Jika para pimpinan tidak peduli, bagaimana jajaran bawah mau peduli. Jika markas kepolisian saja tidak bisa terjaga dengan maksimal oleh jajaran kepolisian dari serangan teroris, bagaimana polisi bisa dipercaya atau diharapkan untuk menjaga keamanan masyarakat dengan maksimal.

“Kasus serangan teror di Polda Sumut harus menjadi pelajaran berharga bagi Polri, untuk memperbaki sikap respon dan kepedulian jajaran bawahnya serta memperbaiki sistem keamanan yang dibangunnya, terutama sistem keamanan untuk mengamankan markasnya,” ucapnya.

Jajaran kepolisian, kata dia, harus benar-benar paham bahwa Sumut merupakan salah satu basis radikalisme di Indonesia. Sejarah menunjukkan gerakan radikal yang ekstrim sudah berkembang sejak lama di Sumut. Di era 1970 an, kelompok radikal juga pernah menebar teror. Sejumlah rumah ibadah, hotel, dan gedung bioskop di Sumut mereka ledakkan dengan bom.

“Artinya, jajaran Polda Sumut tidak boleh lengah. Sebab serangan teroris yang hanya menggunakan pisau dapur hingga bisa membunuh seorang polisi di tengah begitu banyak polisi bersenjata lengkap di markasnya, tidak hanya memprihatinkan, tapi juga sangat memalukan Polri,” kata Neta.