Keberadaan tumbuhan air sebagai pakan ikan nila alternatif yang murah, dan ramah lingkungan ini pertama sekali ditemukan di Boyolali. Tumbuhan air ini menutupi permukaan air sungai yang ada di sana.

Di Boyolali, Shinta membudidayakan lemna dan wolffia di atas lahan kurang lebih 10.000 meter per segi atau sekitar satu hektare. Tumbuhan air itu cukup untuk memenuhi kebutuhan pakan ikan nila merah yang dibudidayakannya.

"Saya sangat terbantu sekali. Biaya produksi untuk pembelian pakan buatan pabrik benar-benar terpangkas. Saya tidak lagi mengeluarkan uang untuk membeli pakan pelet," jelasnya.

Keunggulan kedua pakan alami inilah yang kemudian dicoba Shinta untuk dikelola para pelaku budidaya ikan nila KJA di Danau Toba yang terkendala modal serta lingkungan. Sehingga isu pencemaran lingkungan yang selama ini diributkan banyak pihak, teratasi.

Hal itu juga direspon oleh pelaku usaha budidaya ikan nila KJA di Kelurahan Haranggaol, Kecamatan Haranggaol Horisan, Kabupaten Simalungun Rikson Saragih.

Menurutnya, kedua pakan tersebut sangat menarik dan sangat membantu petani kecil yang selama ini terbebani oleh biaya pakan pelet yang mencapai 80% dari total biaya produksi. Menurut hitung-hitungan Rikson, untuk 10.000 benih ikan nila, pakan yang diperlukan berkisar tiga ton. Pakan itu mulai dari benih ikan berukuran 10 - 12 cm hingga panen dengan ukuran tiga ekor per kilogram.

Dengan kata lain, waktu pemeliharaan berkisar enam sampai tujuh bulan. Berarti, biaya yang dikeluarkan petani untuk pembelian benih mencapai Rp 6,5 juta atau Rp 650 per ekor x 10.000. Kemudian, belanja pakan (pelet) sampai panen sebanyak 100 sak atau tiga ton (1.000 kg) dengan harga pelet per sak (ukuran 30 kg) Rp 270.000.

Dengan begitu, biaya untuk pakan Rp 270.000 x 100 sak = Rp 27 juta. Total biaya benih dan pakan Rp 6,5 juta + Rp 27 juta = Rp 33,5 juta.

Sementara produksi yang dihasilkan dari benih 10.000 ekor berkisar dua ton. Dan harga jual ikan nila saat ini di tingkat petani mencapai Rp 26.000 per kg. Itu artinya, omzet yang dihasilkan petani ikan nila saat ini berkisar Rp 52 juta.

Dikurang biaya produksi (pakan dan benih) maka Rp 52 juta - Rp 33,5 juta = Rp 18,5 juta. Bila dibagi waktu budidaya sekitar tujuh bulan, maka penghasilan yang diperoleh petani KJA hanya berkisar Rp 2,6 juta per bulan.

"Angka ini jelas tidak sebanding. Artinya, upah yang kami peroleh sangat kecil. Tetapi, kami tidak ada pilihan sebab lahan darat sangat minim. Kami hanya mengandalkan pencaharian kami dari bertani ikan KJA saja," kata Rikson.

Dengan adanya lemna dan wolffia sebagai pakan alami ikan nila, menurut Rikson akan sangat membantu petani ikan KJA. "Otomatis, keuntungan yang diperoleh petani akan jauh lebih besar. Paling tidak belanja untuk pakan sebesar Rp 27 juta akan terpangkas," ujarnya.

Namun, Rikson sedikit pesimis apakah kedua tanaman air itu dapat hidup di Danau Toba. "Kalaupun teknologi budidayanya nanti ditemukan untuk dilakukan di Danau Toba, apakah pemerintah tidak akan melarangnya mengingat dari segi estetika atau keindahan akan sangat menganggu. Sama seperti enceng gondok," ucapnya.

Begitupun, Rikson berharap pemerintah dapat melakukan ujicoba pengembangan lemna dan wolffia di kawasan Danau Toba mengingat masyarakat banyak yang menggantungkan mata pencahariannya dari berbudidaya ikan nila.

"Kalau untuk di darat kemungkinan besar di Haranggaol tidak dapat dilakukan.

Memang banyak lahan tidak produktif yang dapat dimanfaatkan tetapi air yang mengalir untuk kelangsungan budidaya lemna dan wolffia yang sulit di Haranggaol," akunya.