JAKARTA - Tak dipungkiri bahwa sejarah panjang sepak bola Indonesia tak lepas dari kontribusi pemain-pemain etnis Tionghoa. Bahkan, sebagian besar dari mereka merupakan tulang punggung klub-klub elite Tanah Air pun timnas Indonesia.

Endang Witarsa adalah satu di antara tokoh sepak bola keturunan Tionghoa yang melegenda. Meski berdarah China, namun nasionalismenya tak kalah atau bahkan melebihi orang Indonesia sendiri.

Ia dianggap menyia-nyiakan kesempatan menjadi "orang kaya" dari profesi sebagai dokter gigi yang terbilang langka di tahun 1960-an. Pria kelahiran Kebumen, Jawa Tengah, 16 Oktober 1916, itu meninggalkan profesi dokter gigi demi kecintaannya pada sepak bola.

Lahir dengan nama Liem Soen Joe, Endang ikut mengharumkan bendera Merah Putih di ajang internasional. Ia pernah aktif sebagai pemain juga pelatih timnas Indonesia.

Pria yang akrab disapa Dokter itu sukses mempersembahkan segudang piala ketika menjabat pelatih Indonesia. Trofi Piala Raja Thailand dan Agha Khan Cup Pakistan pun menghiasi lemari prestasi timnas Indonesia.

Sebagai pelatih, Endang dikenal sebagai pelatih yang amat disegani. Memiliki karakter keras dan disiplin serta akrab dengan kata-kata makian bagi pemain yang tak menjalankan instruksi dengan baik.

Banyak pemain yang berhasil dipolesnya dan kemudian jadi tulang punggung Timnas Indonesia. Iswadi Idris, Djamiat Dalhar, Sucipto Suntoro, Yudo Hadianto, Mulyadi, Surya Lesmana hingga Widodo C Putro pun lahir dari hardikan Endang.

Benci Rasialisme

Selain mengedepankan disiplin, Endang juga dikenal sebagai pria yang begitu mencintai keberagaman. Ia tak rela hubungan mesra warga Tionghoa dan pribumi ternoda karena eksklusivitas.

Endang pernah marah besar mendengar usulan gelaran kompetisi sepak bola antarklub-klub Tionghoa di Indonesia. Kata-kata kasar pun berhamburan dari mulutnya.

"Pipa (panggilan akrab kakek di keluarga Witarsa) sangat marah sekali dengan usulan tersebut. Pencetus ide dimaki sejadi-jadinya dengan kata-kata kasar termasuk binatang," kata Tessa Witarsa Abadi, cucu terdekat Endang, seperti yang dikutip GoNews.co dari CNNIndonesia.com.

Menurut Tessa, kakenya tak hanya jenius dalam meracik taktik dan mencium bakat pemain. Endang juga dianggap punya visi jauh ke depan untuk kepentingan hidup berbangsa.

Endang tak pernah mau membuat kegiatan yang berdampak pada isu rasialisme.

"Pipa selama ini susah payah bikin mereka berbaur dengan pribumi. Tapi, justru ada rencana mau mengkotak-kotakan dengan kompetisi seperti itu. Sudah gila mereka semua," ujar Tessa menirukan penjelasan Endang.

"Awalnya saya kaget dia bisa semarah itu. Tapi, saya enggak kepikiran dengan potensi itu," ujar Tessa.

Tessa merupakan cucu kesayangan Endang Witarsa. Wanita yang melanjutkan profesi dokter gigi itulah yang setia menemani hari-hari terakhir Endang Witarsa.

Ibu dari Jasmine itu menyayangkan isu rasialisme justru kembali menyeruak dalam sendi kehidupan bangsa Indonesia saat ini, dimana etnis Tionghoa kembali dipinggirkan.

"Sangat sedih rasanya lihat situasi sekarang. Banyak ujaran negatif tentang etnis Tionghoa. Mungkin karena pengaruh politik yang sedang marak saat ini atau memang pendidikan karakter yang semakin minim?" ujar Tessa.

Tessa mengaku bersyukur sempat mendampingi Endang secara intensif selama enam tahun terakhir sebelum kakeknya tutup usia. Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari sang legenda.

Endang Witarsa menghembuskan napas terakhir di RS Pluit, Jakarta, pada tanggal 2 April 2008 dalam usia 92 tahun. Almarhum meninggalkan 4 anak, 12 cucu (termasuk Tessa), dan 9 cicit.

Jenazah Endang dimakamkan di San Diego Hills, Karawang, Jawa Barat. Meski tak lagi ada di dunia, namun sosoknya selalu hidup dalam diri Tessa dan para pesepak bola yang mengenalnya.

"Meski sampai akhir hayat tidak menyisakan sepeser pun untuk keluarga, tapi dia mewariskan nilai-nilai nasionalisme yang tinggi bagi orang-orang di sekitarnya," ujar Tessa.***