JAKARTA - Sikap Polri dalam melindungi Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai terlalu berlebihan, sehingga mengesankan pemerintahan lemah dan anti kritik.

Penilaian itu disampaikan Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie Massardi terkait pengusutan kasus dugaan makar yang diduga direncanakan oleh putri proklamator RI Rachmawati Soekarnoputri dan sejumlah tokoh sepuh lainnya..

"Tindakan Polri dalam melindungi pemerintahan Joko Widodo sudah melampaui batas sehingga bukannya menjaga dan meningkatkan kewibawaan pemerintahan, justru malah mengesankan pemerintahan Presiden RI ke-7 ini lemah, tidak mau menerima kritik, dan anti-demokrasi," katanya.

Adhie pun mencontohkan penangkapan Bambang Tri Mulyono, penulis buku Jokowi Undercover lalu menersangkakan musisi Ahmad Dhani dalam kasus penghinaan terhadap kepala negara, serta menersangkakan tokoh-tokoh sepuh seperti Rachmawati Soekarnoputri, Kivlan Zen, Adityawarman Thaha dll yang usianya sudah di atas 60 tahun.

Adhie setuju perlu tindakan preventif, tetapi seharusnya memakai jurus `menarik rambut dari timbunan tepung' alias tidak mengguncangkan sendi-sendi persatuan dan tidak memanaskan suhu politik.

"Dan yang lebih penting, tidak mengesankan pemerintahan ini rapuh," ujar Juru Bicara presiden era KH Abdurrahman Wahid ini.

Menurut Adhie, sebenarnya pemerintahan Presiden Joko Widodo sangat kuat. Selain telah memenangkan hati rakyat pada Pilpres tahun 2014, sekarang didukung penuh oleh parlemen dan sedang menjalankan kerja nyata menyangkut pembangunan infrastruktur yang memerlukan investor dari luar negeri. Padahal investor akan masuk dengan nyaman kalau secara politik pemerintahannya kuat.

"Jadi Polri harus memahami struktur politik pemerintahan Joko Widodo yang kini sekuat mendiang Hugo Chaves saat memimpin Venezuela, yang bahkan tak sanggup digulingkan oleh kekuatan oposisi yang didukung langsung AS karena rakyat sangat mencintainya," ujar Adhie.

Dengan sedikit-sedikit menggunakan instrumen hukum di tangan aparat, kata Adhie, membuat investor justru meragukan stabilitas politik di Indonesia.

Hal ini bisa membenarkan asumsi yang dibangun JP Morgan yang dalam risetnya menyebut Indonesia turun dua peringkat sebagai negara tujuan investasi.

"Padahal kita tahu, Menteri Keuangan sudah mengingatkan bahwa JP Morgan salah, dan untuk itu pemerintah kemudian memutus kontrak kerja sama dengan lembaga keuangan internasional itu. Terlebih memasuki kuartal pertama di awal tahun, guna mengantisipasi guncangan ekonomi domestik dan internasional, pemerintah perlu melakukan konsolidasi (penguatan) politik," kata Adhie.***