MEDAN - Kendati hasil kerja Ombudsman Republik Indonesia perwakilan Sumatera Utara (ORI - Sumut) dalam mengakhiri Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun 2016 telah disampaikan kepada sejumlah instansi terkait dalam bentuk saran, namun sejauh ini temuan itu belum juga ditindaklanjuti. Di mana, dari 30 laporan masyarakat yang diterima dari seluruh Sumatera Utara di antaranya 14 ada di Kota Medan. Tujuh dari 14 yang dilaporkan tersebut telah mengakui melakukan pelanggaran.

Ironisnya, hingga saat ini temuan yang telah disampaikan kepada Walikota Medan selaku eksekutif dan Kepolisian serta Kakanwil Departemen Agama Provinsi Sumatera Utara belum jelas tindak lanjutnya. Karena, pejabat yang telah mengakui melakukan pelanggaran tersebut masih menjabat.

Padahal, Undang - undang (UU) No. 37 tahun 2008 tentang Ombudsman dan UU No. 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik serta UU No. 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah menyebutkan saran rekomendasi Ombudsman itu wajib dilaksanakan.

Menanggapi hal tersebut, akademisi sosial politik dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Mujahidin. S.Sos, MSP angkat bicara. Ia berpendapat seharusnya kewenanangan Ombudsman itu tidak seperti yang sekarang ini. Kewenangannya harus ditambah. Karena pejabat di birokrasi itu bebal. Hal itulah yang menyebabkan angka pengaduan itu relatif rendah. "Pertama, angka pengaduan itu relatif masih rendah jika dibandingkan dengan fakta praktek pungli di berbagai instansi terkait," kata Muja saat ditemui di kampus UMSU, Selasa, (15/11/2016).

Mengapa masih rendah?, sambungnya, karena budaya partisipasi masyarakat kita terkait kontrol terhadap kinerja pemerintan masih minim. "Jadi, ada atau tidaknya satgas pungli dan ada atau tidaknya posko pengaduan pungli, tetap saja partisipasi masyarakat kita rendah terhadap upaya perbaikan pelayanan birokrasi dan administrasi yang sedang dicanangkan oleh pemerintah," katanya.

Kedua, lanjut Mujahidin, ia menilai rendahnya angka partisipasi ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, satu di antaranya adalah sikap a-priori (masa bodoh) yang dijalankan oleh pemerintah selama ini sehingga menimbulkan sikap apatisme.

"Hal ini bisa dilihat dari berapa banyak pengaduan publik tentang buruknya kualitas pelayanan di banyak birokrasi tetapi pengaduan tersebut hanya dianggap 'pepesan kosong' oleh pemerintah. Akhirnya, efek yang muncul adalah sikap apatisme dari masyarakat; melapor tidak melapor ya hasilnya sama tidak ada tindak lanjut sama sekali. Nihil," terang Muja mencontohkan.

Ketiga, tambah alumni Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara (USU) ini, Pada tahapan inilah harusnya Ombudsman selaku lembaga negara yang konsen terhadap pelayanan publik bisa diberikan fungsi yang lebih besar untuk bisa melakukan tindakan perbaikan secara langsung. Seperti KPK yang diberikan ruang secara luas untuk penanganan kasus korupsi. "Ombudsman harusnya juga diberikan ruang seperti itu (KPK) untuk bisa menangani kasus maladministrasi," ungkapnya.

Keempat, tambahnya sebelum mengakhiri, jika itu dilakukan secara maksimal maka kita tidak perlu lagi membentuk satgas-satgas khusus untuk menanganin kasus pungli. "Jadi bagi saya, satgas pungli ini hanya serimonial saja. Tidak dapat memberikan efek jera sama sekali. Nanti, tiga atau lima bulan lagi, praktik pungli akan berjalan kembali," pungkasnya.

Informasi sebelumnya, ORI - Sumut pada PPDB 2016 ini menerima 30 pengaduan di posko yang dibuka. Sebanyak 14 pengaduan itu ada di Kota Medan, dan tujuh di antaranya mengakui telah melakukan pelanggaran. Temuan yang menyebutkan tujuh sekolah yang melakukan praktik pungli yakni SMA Negeri 10, SMA-N 4, SMA-N 15, SMA-N 13, SMA-N 12, dan SMA-N 7 Medan telah disampaikan dalam bentuk saran tersebut hingga kini belum jelas tindaklanjutnya.