TOBA - Di tengah keindahan Pulau Sibandang yang terbentuk sebagai bagian dari pusat kaldera setelah letusan Gunung Toba yang terakhir (Young Toba Tuff) yaitu sekitar 74.000 tahun yang lalu, terdapat hubungan yang menarik antara nilai-nilai budaya dan keberlanjutan lingkungan yang dianut oleh masyarakat Batak Toba di sekitarnya. Pulau ini, selain menjadi saksi bisu letusan alam yang dahsyat, juga menjadi kanvas bagi perpaduan antara keindahan alam, warisan budaya, dan kearifan lokal.

Pentingnya menjaga ekosistem dan melestarikan keanekaragaman hayati di Pulau Sibandang tidak hanya tercermin dalam tradisi masyarakat Batak Toba di daratan, tetapi juga menjadi relevan di pulau ini. Keindahan alam yang unik dan nilai-nilai budaya yang kaya membuat Pulau Sibandang menjadi tujuan geowisata yang sangat menarik. Menurut penelitian Fernando Ompusunggu (2021) dengan analisis geosite dan geomorphosite, Pulau Sibandang memperoleh nilai kelayakan sebesar 81,67%, yang berarti pulau ini menunjukkan potensi tinggi untuk dikembangkan sebagai destinasi geowisata yang tidak hanya menawarkan keindahan alamnya tetapi juga menceritakan kisah kearifan lokal dan hubungan manusia dengan lingkungan.

Sebagai contoh, dalam adat budaya Batak, lingkungan tidak hanya dilihat sebagai entitas fisik, tetapi juga memiliki dimensi spiritual. Pohon hariara, sebagai salah satu contoh, sering dikaitkan sebagai media komunikasi dengan arwah para leluhur. Pohon ini dianggap sebagai jembatan yang menghubungkan dunia fisik dengan dunia spiritual, tempat di mana pesan dan doa dapat diantarkan kepada para leluhur. Melalui kepercayaan ini, masyarakat Batak Toba tidak hanya menjaga lingkungan secara fisik tetapi juga merawatnya dengan penuh rasa hormat dan spiritualitas, menciptakan keseimbangan holistik antara manusia, alam, dan roh nenek moyang. Upaya pelestarian lingkungan di Pulau Sibandang menjadi lebih berarti karena tidak hanya mencakup aspek material tetapi juga mencerminkan hubungan yang mendalam dengan dunia spiritual.

Para volunteer yang berpartisipasi dalam gerakan Voluntourism ke - 2 yang bertemakan "Cinta Lingkungan" di Pulau Sibandang turut serta dalam kegiatan panen kakao, komoditas penting bagi masyarakat lokal dan ekonomi pulau. Mereka diajarkan cara memanen tanpa merusak lingkungan dengan memilih buah kakao matang secara hati-hati. Melalui pengalaman ini, para relawan mendapat pemahaman tentang praktik pertanian berkelanjutan dan pentingnya menjaga keanekaragaman hayati serta lingkungan. Hal ini sesuai dengan tujuan gerakan yang juga mengedukasi tentang pelestarian lingkungan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam pertanian.

Para volunteer juga diajak untuk menanam pohon Ingul. Pohon ingul, pohon jior, dan pohon pongki/pokki, yang memiliki kedudukan istimewa dalam kehidupan masyarakat Batak Toba, bukan hanya menjadi bahan baku untuk membuat kapal dan rumah bolon, tetapi juga mencerminkan hubungan erat antara manusia dan lingkungan.

Pemilihan pohon untuk keperluan konstruksi tradisional seperti kapal dan rumah bolon bukanlah keputusan yang diambil secara sembarangan. Pada masa dahulu, ritual dan tata cara khusus melibatkan para tetua adat dan dukun dilibatkan, menunjukkan kearifan lokal dan pengetahuan mendalam tentang keseimbangan ekosistem.

Selain para volunteer yang aktif terlibat dalam kegiatan Voluntourism di Pulau Sibandang, Kepala Dinas Pariwisata, Sasma H. Situmorang, S.STP, M.Si, juga memberikan apresiasi yang besar atas kontribusi mereka.

"Terima kasih buat teman-teman Strive atas partisipasi dan dedikasinya dalam menjadi volunteer di Pulau Sibandang. Ini adalah kali kedua mereka berkontribusi di sini, dan kami sangat mengapresiasi hal tersebut. Semoga acara Voluntourism berikutnya juga bisa kita laksanakan di Pulau Sibandang dengan tema yang berbeda." ujar Sasma, Minggu (17/3/2024).

Selain itu, Sasma H. Situmorang juga turut aktif mengikuti kegiatan Voluntourism sebagai bentuk dukungan langsung dari pihak Dinas Pariwisata. Keikutsertaannya menunjukkan komitmen pemerintah daerah dalam mendukung upaya pelestarian lingkungan dan budaya lokal, serta pengembangan pariwisata yang berkelanjutan di Pulau Sibandang.

Para volunteer juga diajak untuk berkreasi dengan membuat kerajinan tangan berupa aksesoris khas masyarakat Toba, yaitu gelang Sitolu Bolit. Gelang Sitolu Bolit merepresentasikan 3 banua (dunia) yang diyakini masyarakat Toba dahulu, yaitu banua toruh (dunia kematian), banua tongah (dunia saat ini), dan banua ginjang (dunia bersama Tuhan).

Tiga warna pada gelang Sitolu Bolit juga menggambarkan nilai yang dipegang oleh masyarakat Toba, yaitu putih yang melambangkan kejujuran, merah melambangkan keberanian, serta hitam melambangkan kewibawaan. Gelang Sitolu Bolit yang dibuat menggunakan bahan ramah lingkungan. Dengan demikian, para volunteer dapat menggali kreativitas mereka sambil mempromosikan penggunaan bahan yang tidak merugikan lingkungan.

Selain itu, Strive bersama para volunteer juga mengadakan kegiatan team building kepada para siswa SMP 4 Muara yang terletak di Desa Sibandang. Kegiatan team building berupa permainan- permainan yang memiliki esensi kerja sama. Nilai kerja sama yang disampaikan melalui permainan bertujuan agar para siswa memahami bahwa dalam menjaga kelestarian alam perlu adanya kerja sama. Terwujudnya kelesatarian alam tidak tercapai tanpa adanya kerja sama semua pihak.

Seluruh kegiatan Voluntourism ini tidak hanya berfokus pada pelestarian alam semata, tetapi juga mendukung program-program pelestarian alam yang sudah dijalankan oleh masyarakat lokal. Dengan melibatkan wisatawan secara langsung, Strive berharap dapat menciptakan dampak positif yang berkelanjutan bagi Pulau Sibandang dan masyarakat Batak Toba. Inisiatif ini memberikan kesempatan bagi wisatawan untuk merasakan hubungan yang lebih mendalam dengan lingkungan dan budaya lokal, sambil turut serta dalam menjaga kelestarian alam sebagai bagian integral dari pengalaman wisata mereka.