Pemilu tinggal menghitung hari, pembuat hoaks dan oknum yang tidak bertanggung jawab semakin bertaburan di media sosial untuk mengecoh masyarakat agar semakin kabur melihat kebenaran atau memecah belah masyarakat. Salah satu malinformasi yang familiar setiap pemilu adalah tentang “Pemilih Siluman” dan “Surat Suara Siluman”.
Dalam jurnal KPU, “Pemilih Siluman” atau ghost voter merupakan pemberian suara dilakukan oleh pemilih yang tidak berhak. Adapun beberapa modus dari pemilih siluman ini antara lain:
a) Pemilih yang belum cukup umur tapi dikondisikan untuk memilih
b) Pemilih yang menggunakan hak milik orang lain dan pemilih yang tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) maupun Daftar Pemilih Tambahan (DPTb), namun memilih dengan menggunakan identitas kependudukan yang bukan beralamat di TPS, desa atau kecamatan tempat memilih.

Lalu, bagaimana dengan “Surat Suara Siluman”? Singkatnya “Surat Suara Siluman” merupakan surat suara hasil dari “Pemilih Siluman” yang melakukan proses pemilihan secara illegal, baik umur yang belum cukup maupun menggunakan surat suara lebih yang bukan dari DPT atau DPTb setempat. Namun, dalam beberapa kasus juga terdapat suara siluman yang tidak diketahui dari mana sumber surat suaranya. Contohnya, merujuk sebuah kasus di TPS 6 Desa Potoan Laok, Kecamatan Palengan, Pamekasan pada pemilu 2014. Di desa ini terdata 483 DPT plus tambahan 2 persen kertas suara. Tapi setelah proses rekapitulasi di tingkat TPS, ternyata kertas yang tercoblos berjumlah 510 surat.

Kita perlu mengetahui, apa faktor yang menyebabkan “Pemilih Siluman” dan “Surat Suara Siluman” ini selalu hadir menjelang pemilu? Menurut Awaludin dalam Jurnal yang berjudul “MALPRAKTIK PEMILU DI TEMPAT PEMUNGUTAN SUARA PADA PEMUNGUTAN DAN PENGHITUNGAN SUARA PEMILU SERENTAK TAHUN 2019”, setidaknya ada 2 alasan, yaitu:
a) Ketidakkonsistennya regulasi tentang syarat pemilih terdaftar dalam menggunakan hak pilihnya di TPS.
b) Minimnya kompetensi petugas KPPS dalam melaksanakan tugas pemungutan dan penghitugan suara berdasarkan ketentuan dan tata cara yang telah ditetapkan dalam regulasi Pemilu (3)
c) Dan tambahan yang ketiga, pastinya ada pihak-pihak yang menyegajakan untuk berlaku curang untuk memenangkan kubu tertentu.

Jadi, apa konsekuensi jika terdapat “Pemilih Siluman” dan “Suara Siluman” di suatu TPS? Jika dilihat dari PKPU 25/2023 dan Juknis No 66/2024 maka besar kemungkinan akan dilakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU) dengan memerhatikan pertimbangan KPU Kota untuk mengambil keputusan.

Sebagai bagian masyarakat yang teredukasi, kita perlu mengambil bagian untuk mengawal proses demokrasi, termasuk isu tentang “Pemilih Siluman” dan “Surat Suara Siluman”. Fenomena ini memang benar adanya dan sering terjadi di hari pemilihan umum karena berbagai tantangan regulasi dan penyelenggara di lapangan saat hari H. Namun, jika malinformasi ini dieksploitasi sedemikian rupa oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, maka dapat mengakibatkan perpecahan di masyarakat hingga memakan korban.

Nantikan konten selanjutnya untuk mengetahui prebunking lebih banyak.