MEDAN - Jelang Pilpres dan Pemilu 2024, Tim Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (PKAK FH USU), menggelar diseminasi hasil riset berjudul “Persepsi pemilih pemula Gen Z di Sumatera Utara terhadap hak politik uang dan hak pilih untuk tahun politik 2024”. Dibawah arahan ketua tim pelaksana riset Dr. Detania Sukarja, SH., LLM, kegiatan ini dihadiri Rektor USU, Prof. Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si., Dekan FH USU, Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum, Ketua KPU Sumut, Agus Arifin, Ketua Bawaslu Sumut, Aswin Diapari Lubis (dalam jaringan).
 
Acara diseminasi juga menghadirkan 3 narasumber penanggap hasil riset, yaitu Dr. Indra Fauzan (FISIP USU), Nazir Salim Manik (JaDI) dan Ibrahim Puteh (SAHDAR). 
 
“Riset ini didukung oleh Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan dan dilaksanakan di 13 Universitas yang tersebar di 7 Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara,” ujar Detania dalam siaran persnya, Selasa (13/2/2024).
 
Lebih lanjut, Detania menjelaskan riset ini terdiri dari survei, wawancara mendalam, dan Forum Group Discussion (FGD) dengan partisipan yang merupakan insan muda pemilih pemula Sumatera Utara (Sumut) dalam rentang usia 17-20 tahun. 
 
Adapun survei dilakukan pada 399 responden sedangkan kegiatan wawancara mendalam dan FGD melibatkan 92 orang informan.
 
Berdasarkan riset yang dilakukan, terungkap fakta menarik bahwa meskipun secara umum pemilih pemula Gen Z di Sumut memiliki kesadaran hukum dan pemahaman yang baik terhadap penggunaan hak pilih. Pemilih pemula mengetahui bahwa memilih penting untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis untuk masa depan bangsa, serta mengetahui praktik politik uang berkaitan erat dengan stigma korupsi. 
 
Tetapi ketika dihadapkan pada berbagai bentuk tawaran politik uang, Gen Z justru memiliki sikap pragmatis yang cenderung memaklumi praktik tersebut dengan berbagai alasan. Riset menunjukkan bahwa terdapat pemilih pemula yang mau menerima uang atau imbalan secara transaksional, pemilih pemula yang merasa tidak masalah menerima uang atau imbalan dari calon politik yang sejak awal sudah menjadi calon pilihannya dan pemilih pemula yang mau menerima uang atau imbalan dalam bentuk lainnya namun tidak memilih si calon. 
 
Hal ini mengafirmasi pandangan yang telah menjadi kelaziman di tengah masyarakat Indonesia mengenai praktik politik uang: “terima uangnya, jangan pilih calonnya.” 
 
Yang menarik, lanjutnya, meskipun sebagian responden mengaku tidak akan memilih kandidat politik yang melakukan politik uang, tetapi ada yang justru tidak mempermasalahkan politik uang yang dilakukan oleh kandidat politik yang sejak awal memang akan dipilihnya.
 
Idealisme dalam menggunakan hak pilih dan pragmatisme terhadap praktik politik uang adalah sebuah paradoks yang menggabarkan kompleksitas dalam upaya mewujudkan pemilu yang adil dan berintegritas. 
 
“Harapannya, temuan ini tentunya menjadi bahan refleksi untuk menguatkan strategi hukum maupun internvensi sosial yang perlu dilakukan untuk mewujudkan demokrasi yang sehat dan bebas dari korupsi”, tandas Detania menutup rangkaian diseminasi hasil riset PKAK FH USU.