JAKARTA — Indonesia siap menjadi ekonomi digital Asia Tenggara pertama yang mencapai Gross Merchandise Value (GMV) sekitar $110 miliar pada tahun 2025. Menurut laporan e-Conomy SEA terbaru yang disusun Google, Temasek, dan Bain & Company selama beberapa tahun terakhir, ekonomi digital Indonesia bertumbuh stabil dan diperkirakan akan mencapai GMV $82 miliar pada tahun 2023, atau tumbuh 8% year-on-year. 

Bisnis digital di Indonesia telah mengalihkan fokus ke monetisasi demi mewujudkan profitabilitas. Tidak lagi hanya akuisisi pengguna baru, mereka kini juga mulai lebih mengoptimalkan engagement dengan pelanggan lama – dan mereka pun mulai memetik hasilnya.

Ekonomi digital Indonesia diperkirakan masih akan tumbuh sejalan dengan rata-rata regional, dan bahkan menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi digital di Asia Tenggara.

E-commerce terus menggerakkan ekonomi digital Indonesia. Penetrasi e-commerce diperkirakan akan bertumbuh, sementara pembelanjaan konsumen juga akan meningkat bersama dengan pertumbuhan ekonomi secara umum. GMV sektor ini diproyeksikan tumbuh 15%, dari $62 miliar pada tahun 2023 menjadi $82 miliar pada tahun 2025.

Memudian sektor travel mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 68% pada tahun 2023, sehingga mencapai GMV $6 miliar. Faktor utamanya adalah pencabutan pembatasan mobilitas terkait pandemi, yang mendorong peningkatan permintaan domestik dan perjalanan bisnis.

Sedangkan transportasi dan pengiriman makanan diproyeksikan mengalami penurunan GMV menjadi $7 miliar pada akhir tahun. Namun, sektor ini akan kembali tumbuh dengan CAGR 13% hingga mencapai GMV $9 miliar pada tahun 2025.

Demi menyeimbangkan pertumbuhan dan profitabilitas, para pemain telah mengurangi promosi dan insentif yang mereka sediakan, sehingga konsumen yang sensitif harga memilih pindah ke alternatif lain.

Untungnya, keberadaan pelanggan yang loyal dapat menggantikan sebagian pendapatan yang hilang ini, dan mereka pun terus menjadi segmen yang penting untuk dipertahankan.

Sementara untuk media online mengalami pertumbuhan sedang dengan GMV $7 miliar dan CAGR 5%. Pada tahun 2030, GMV sektor ini diperkirakan akan meningkat dua kali lipat menjadi ~$15 miliar.

“Di tengah ketidakpastian makroekonomi, masyarakat Indonesia menunjukkan ketahanan luar biasa dari tahun ke tahun. Penggunaan platform digital pun telah menjadi bagian penting dalam kehidupan kita sehari-hari," ujar Managing Director, Google Indonesia, Randy Jusuf dalam siaran persnya, Rabu (8/11/2023) usai press Briefing e-Conomy SEA Report 2023.

Ia menyebutkan seiring dengan mengecilnya kesenjangan partisipasi digital, terutama di luar area metropolitan, penduduk Indonesia yang menjadi pengguna aktif produk dan layanan digital akan bertambah banyak.

Keadaan ini sambungnya, akan memicu pertumbuhan lebih lanjut dalam dekade digital ini, yang memungkinkan untuk mencapai GMV $110 miliar yang diperkirakan tercapai pada tahun 2025.

Layanan keuangan digital berkembang stabil dan Indonesia memimpin sektor pembayaran digital di Asia Tenggara. Indonesia diperkirakan menjadi pasar pembayaran digital terbesar di Asia Tenggara, dengan proyeksi Gross Transaction Value (GTV) ~$760 miliar pada tahun 2030.

Pembayaran digital telah mengalami pertumbuhan stabil sebesar 10%, menjadi $313 miliar per tahun 2023.

Pinjaman digital diyakini akan terus tumbuh dengan nilai sebesar $15 miliar pada 2025, lebih dari dua kali lipat proyeksi nilai tahun 2023 yang $6 miliar.

Dengan semakin ketatnya persaingan di antara pemain layanan keuangan digital (Digital Financial Service, DFS), bisnis pure-play fintech telah memperluas layanan pinjaman mereka ke segmen yang selama ini lebih mengandalkan jasa keuangan non-bank.

Sementara itu, dengan sigap, bank tradisional pun mulai mengalihkan basis pelanggan utama mereka ke layanan digital.

“Sungguh luar biasa bahwa ekonomi digital Asia Tenggara terus mencatatkan pertumbuhan dua digit, sementara Indonesia diperkirakan mencapai GMV $110 miliar pada tahun 2025," ujar Partner and Head of Vector in Southeast Asia, Bain & Company, Aadarsh Baijal.

Hal ini menunjukkan lanjutnya, ekonomi digital Asia Tenggara memang tangguh, dan para pemain kuncinya telah melangkah menuju unit economics yang lebih sehat dan model bisnis yang berkelanjutan. Ekonomi digital Indonesia tetap menjadi yang terbesar dan paling beragam di Asia Tenggara.

"Selain pasar pembayaran digital yang terus berkembang, kami percaya bahwa perilaku offline-to-online yang ada akan semakin menggenjot sektor layanan keuangan digital dan mendorong pertumbuhan yang signifikan di sektor pinjaman dan kekayaan,” kata Aadarsh Baijal

Perusahaan digital membutuhkan rencana profitabilitas yang jelas dan harus membuktikan kepada investor bahwa mereka memiliki strategi exit yang dapat diandalkan

Pendanaan privat di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, mencapai level terendah dalam enam tahun terakhir, mengikuti tren global yang menunjukkan peningkatan biaya modal dan tantangan di sepanjang siklus pendanaan.

Di Indonesia, seperti juga di negara Asia Tenggara lain, pendanaan privat turun sebesar 87% pada paruh pertama tahun 2023 dibandingkan periode yang sama pada tahun 2022.

Tantangan yang dihadapi antara lain koreksi valuasi secara umum setelah naik bertubi-tubi selama tahun 2021, ketidakpastian profitabilitas di beberapa perusahaan, dan kurang kondusifnya situasi pasar modal, yang dapat menyulitkan investor untuk melakukan exit.

Walaupun investor kian selektif dalam menanamkan modal di kawasan ini, cadangan dana (dry powder) di Asia Tenggara masih menggembung menjadi $15,7 miliar pada akhir tahun 2022, dari $12,4 miliar pada tahun 2021.

Hal ini mengindikasikan adanya “bahan bakar” yang diperlukan untuk mendorong pertumbuhan lebih lanjut ekonomi digital di kawasan ini. Untuk Indonesia sendiri, penurunan paling kecil terjadi pada pendanaan tahap awal.

Layanan keuangan digital tetap menjadi sektor investasi utama karena potensi monetisasinya yang tinggi. Sektor-sektor baru juga mengalami kenaikan investasi, yang menandakan bahwa investor ingin melakukan diversifikasi portofolio mereka.

“Ekonomi digital Indonesia terus menawarkan peluang investasi yang menarik karena fundamentalnya yang kuat, seperti pertumbuhan populasi tenaga kerja, peningkatan pendapatan konsumen, dan ekosistem startup teknologi yang dinamis,” kata Fock Wai Hoong, Head of Southeast Asia, Temasek.

“Temasek tetap optimistis terhadap masa depan ekonomi digital Asia Tenggara dan akan terus mengerahkan modal katalisator untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif sehingga semua generasi dapat mencapai kesejahteraan," sambungnya.

Diperlukan perluasan partisipasi digital untuk memicu pertumbuhan lebih lanjut

Indonesia telah mencatatkan kemajuan yang signifikan dalam partisipasi digital selama beberapa tahun terakhir, termasuk dengan adopsi QRIS serta peningkatan penggunaan transfer bank dan kartu kredit, yang membuat pembayaran digital lebih mudah.

Indonesia juga merupakan pasar smartphone dengan pertumbuhan terpesat di Asia Tenggara, dengan 80% penduduknya memiliki smartphone.

Lebih dari 70% dari nilai transaksi ekonomi digital di Asia Tenggara berasal dari 30% pembelanja teratas. Di Indonesia, jumlah pembelanjaan dari pengguna bernilai tinggi (High-Value User, HVU) tercatat 6,8x lebih besar jika dibandingkan non-HVU, khususnya untuk hal-hal seperti perjalanan dan bahan makanan.

Indonesia juga memiliki rasio pembelanjaan HVU tertinggi untuk sektor perjalanan di Asia Tenggara, yaitu 10,4x lebih tinggi dibandingkan non-HVU.


HVU memang dapat ditemukan baik di wilayah metro maupun non-metro di Indonesia. Namun, ketimpangan antara permintaan dan penawaran di wilayah non-metro terlihat bertambah besar. 

Masyarakat di sana juga terancam risiko kesenjangan ekonomi akibat kurangnya partisipasi digital – keterlibatan aktif dalam ekonomi digital melalui konsumsi produk atau layanan di berbagai sektor. Wilayah non-metro menjadi rentan, karena adanya tantangan ekonomi dalam menyediakan layanan digital serta rendahnya daya beli masyarakat di sana.

Mengatasi kesenjangan ini merupakan tanggung jawab bersama seluruh pemangku kepentingan ekonomi digital. Dengan mengatasi penghambat partisipasi digital bagi seluruh masyarakat, GMV ekonomi digital Indonesia berpotensi meningkat dua atau tiga kali lipat, menjadi $210-$360 miliar pada tahun 2030.