Saudaraku, Mohandas K. Gandhi pernah menengarai adanya ancaman yang mematikan dari “tujuh dosa sosial”: ‘politik tanpa prinsip, kekayaan tanpa kerja keras, perniagaan tanpa moralitas, kesenangan tanpa nurani, pendidikan tanpa karakter, sains tanpa humanitas, dan peribadatan tanpa pengorbanan’. Ketujuh dosa sosial tersebut sekarang seakan menjadi warna dasar kehidupan kita. Kehidupan kota (polis) yang mestinya menjadi basis keberadaban (madani) terjerumus ke dalam apa yang disebut Machiavelli sebagai “kota korup” (citta corrottisima), atau yang disebut Al-Farabi sebagai “kota jahiliyah” (almudun al-jahiliyyah).

Di republik korup dan jahil, persahabatan madani sejati hancur. Elit negeri berlomba mengkhianati teman dan negaranya; rasa saling percaya lenyap karena sumpah dan keimanan disalahgunakan. Hukum dan institusi lumpuh tak mampu meredam perluasan korupsi. Ketamakan dan hasrat meraih kehormatan rendah merajalela. Akhirnya timbul kematian dan pengasingan: kebaikan dimusuhi, kejahatan diagungkan.

Kehidupan publik kita merefleksikan nilai moralitas kita, demikian pula sebaliknya. Sebegitu jauh, kehidupan publik-politik selama ini lebih merefleksikan nilai buruk, dan kurang mengaktualisasikan nilai luhur masyarakat. Praktik politik-kenegaraan di negeri ini telah direduksi sekadar menjadi perjuangan kuasa (demi kuasa) ketimbang sebagai proses pencapaian kebajikan bersama. Politik dan etika terpisah seperti terpisahnya air dengan minyak. Akibatnya kebajikan dasar kehidupan bangsa seperti keadaban, responsibilitas, keadilan dan integritas runtuh.

Akutnya krisis yang kita hadapi mengisyaratkan bahwa untuk memulihkannya kita memerlukan lebih dari sekadar politics as usual. Kita memerlukan visi politik baru dengan tata nilai, tata kelola, dan tata sejahtera yang taat asas dengan prinsip moral publik.

Visi tersebut harus berangkat dari keinsyafan bahwa kehilangan terbesar bangsa Indonesia bukanlah kemerosotan pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah atau popularitas tokoh, melainkan kehilangan harga diri karena diabaikannya semangat moral kehidupan bernegara. Suatu usaha “national healing” harus dilakukan dengan menjangkarkan kembali kepentingan pada nilai. (Belajar Merunduk, YL)

Oleh: Yudi Latif
Aktivis dan Cendikiawan Indonesia