Sebelum sampai kepada bagaimana guru berubah dari budaya kerja sendiri kepada budaya kerja kolaborasi mari kita simak terlebih dahulu mengapa guru harus berubah lewat dialog imajinatif berikut : Dialog Kola, Bola dan Rasi di sebuah kelas
 
Rasi : Eh, Bola dan Kola… ayukkk, kok masih ngobrol di kelas ini, sudah lapar ini..
Kola : Jadi gak lapar ni Rasi karena banyaknya tugas
Bola : Iya nih, mau pulang pun tak semangat juga karena beratnya tugas
Rasi : Aduh tugas apaan sih?… kan memang sudah biasa hari-hari kita banyak tugas
Bola : itulah Rasi, bisa sih gak kita bilang ke guru-guru kalau kita sudah semakin bungkuk dengan tugas-tugas 
Kola : Bahasa Indonesia menulis biografi, bahasa Inggris wawancara pakai bahasa Inggris dengan salah seorang guru di sekolah dan TiK membuat buku digital, belum lagi waktunya bersamaan dalam seminggu ini
Rasi : Aduh.. mendengarnya saja saya sudah pusing apalagi mengerjakannya (sambil cemberut)
Sudah yuk, pulang dulu, makan , Nanti sore di rumahku kita kumpul jam 4 sambil membahas tugas-tugas kalian
Kola, Bola dan Rasi berkumpul di rumah Rasi
Rasi : Sudah lebih segar kan, yuk..kita bahas satu-satu tugas kalian, Bahasa Indonesia menulis biografi, siapa tokoh yang akan kalian tuliskan?
Kola : Bebas Rasi, siapa pun bisa, orang tua, guru atau artis idola
Rasi : Kalau bahasa Inggris wawancara pada salah seorang guru di sekolah, apa yang menjadi topik pertanyaannya?
Bola : Bebas Rasi, bisa dimulai dari data diri, pendidikannya sampai kepada menjadi guru
Rasi : Nah, kalau mapel TIK membuat buku digital, apa isi materi buku digital kalian
Kola : Bebas juga, bisa berupa cerita atau gambar-gambar yang penting bisa membuat buku digital
Rasi : Wait-wait…Aku kok mendengar benang merah tugas kalian ya…
Kalau tokoh yang mau ditulis bisa bebas kenapa bukan guru yang akan kalian wawancarai dalam bahasa Inggris saja artinya bisa bersamaan isi biografinya dan wawancaranya. Satu pakai bahasa Indonesia dan satu pakai bahasa Inggris dan hasil tulisan biografi dan wawancar bisa kalian masukkan di buku digital tugas TIK kalian
Kola : Wah, hebat kamu Rasi..benar mempermudah tugas kita, sekali mendayung, tiga tugas mapel bisa dilampui
Bola : Mengapa ketiga guru kita itu tidak kolaborasi saja ya membuat satu tugas tapi untuk tiga penilaian?
Rasi : Iya kan…guru-guru kita kurang kolaborasi…bilangnya kolaborasi adalah keterampilan abad 21 yang harus kita kuasai, lah mereka saja tidak mencontohkan kolaborasi pada kita
Kalau guru-guru kita memberi contoh kolaborasi sesama guru pasti kita bisa melihat dan mengikut mereka
Berdasarkan dialog imajinatif di atas dapat kita refleksikan mengapa guru perlu melakukan kolaborasi dalam pembelajaran
 
1. Kebutuhan zaman
Kihajar Dewantara dalam filosofinya harus mendidik anak sesuai kodrat alam dan kodrat zaman anak-anak. Kodrat zaman anak menuntut keterampilan kerja dengan budaya kolaborasi, lihatlah ada tim dokter, tim marketing, tim digital, tim kreator dan lain-lain. 
Pekerjaan dalam tim ini menuntut kemampuan dalam bekerja sama, saling bersinergi, beradaptasi dalam berbagai peran dan tanggungjawab, bekerja secara produktif dengan yang lain, menempatkan empati pada tempatnya, dan menghormati perspektif berbeda. 
Kalau kebutuhan anak adalah salah satu keterampilan abad 21 yaitu kolaborasi maka hal ini pun wajib menjadi kebutuhan guru. Selain karena guru kencing berdiri, murid kencing berlari, kolaborasi juga adalah salah satu kompetensi sosial guru yaitu Guru harus dapat berkomunikasi secara santun, empatik, dan efektif terhadap sesama guru, tenaga kependidikan, orang tua, serta masyarakat sekitar.
2. Efisiensi kerja
Perusahaan sangat menekankan efeisensi kerja. Kolaborasi dapat mengefisiensi kerja, seperti tugas Kola dan Bola pada dialog di atas. Satu pekerjaan bisa untuk tugas tiga mata pelajaran. Betapa banyak waktu dan pemikiran yang bisa dihemat untuk tiga tugas mapel di atas. Selain siswa, guru juga dapat menghemat waktu dan pemikirannya, untuk tugas tersebut. Guru dapat berkolaborasi menentukan satu rubrik penilaian untuk tiga aspek mapel tersebut. Akhirnya anak, yang tadi lemah di Bahasa Inggris, bisa terbantu nilainya dari Bahasa Indonesia atau mapel TIK-nya.
3. Mengetahui dan menganalisis potensi diri
Kolaborasi dapat membantu mengenal kelebihan dan kekurangan masing-masing, Kekuatan seorang dapat membantu kelemahan yang lain. Seperti contoh di atas ketika si Kola tidak bisa berwawancara dalam Bahasa inggris maka dapat dibantu oleh Si Bola. Si Bola yang mempunya kekuatan menulis dapat membantu si Kola dengan menuliskan hasil wawancara dalam bentuk teks biografi Bahasa indonesianya.
4. Berbagi ilmu
 
Kolaborasi juga memungkinkan untuk saling berbagi ilmu, Si Kola dapat mengajari Bahasa inggrisnya pada Si Bola dan Si Bola dapat mengajari Bahasa Indonesia. Bukankah guru sebaya lebih efektif mentransfer ilmu dibanding gurunya? Sangat terbantu sekali bukan pekerjaan guru Bahasa inggris dan Bahasa indonesianya.
Lantas apa yang dapat kita lakukan untuk dapat mengubah kebiasaan guru dari budaya kerja sendiri kepada budaya kerja kolaborasi? Kita dapat meningkatkan kemampuan guru dalam :
1. Berkomunikasi
Kolaborasi menuntut kemampuan berkomunikasi baik secara tertulis maupun lisan. Baik komunikasi verbal maupun nonverbal yang meliputi bahasa tubuh dan nada bicara. Komunikasi yang bukan saja bicara tentang berbicara tapi juga kemampuan mendengar.
2. Menghargai perbedaan
 
Kolaborasi memungkinkan bertemu dengan siapapun. Jenis kelamin yang berbeda, agama yang berbeda, budaya yang berbeda dan cara pandang yang berbeda. Penghargaan akan memampukan kita menyatukan perbedaan itu. Penghargaan akan membuat kita bersatu demi tujuan bersama.
3. Kecerdasan emosional 
Kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenal diri sendiri kemudian mengolah atau memanejemen diri sendiri. Kemampuan menyadari bahwa dirinya sedang marah atau sedih dan kemampuan mengolah amarah dan kesedihan itu tidak mengganggu orang lain. Kecerdasan emosional juga adalah kemampuan merasakan apa yang dirasakan orang lain dan berbuat apa yang pantas terhadap perasaan orang lain tersebut. Misalnya tanggap pada emosi teman dalam tim dan dapat memberikan energi positif pada teman tersebut.
Jadi, dari manakah kita memulai mengubah kebiasan budaya kerja sendiri kepada budaya kerja kolaborasi?
 
Oleh: Hotdiana Nababan, M.Pd
Guru SMK N 2 Rantauutara Labuhanbatu