Bentuk badan hukum PTPN adalah Perseroan Terbatas (PT), yang artinya perusahaan terbuka dan boleh mencari untung. Dalam melaksanakan penugasan pemerintah, PTPN tidak boleh rugi. Oleh karena itu untuk kepada jajaran perusahaan BUMN, pemerintah mengeluarkan dana subsidi dan public service obligation (PSO). Dan untuk itu BUMN memiliki tagline : "BUMN untuk Indonesia".

 
Sejalan dengan produksi TBS (Tandan Buah Segar) atau CPO dalam negeri saat ini melimpah, karena akan terjadi panen raya di semua wilayah produksi sawit di Indonesia. Pemerintah Indonesia memiliki Atdag (Atase Perdagangan) di Kedutaan Besar di setiap belahan negara di dunia. Mengapa hal ini penting untuk diingatkan?

PTPN merupakan perusahaan plat merah bisa saja memerankan dirinya sebagai pedagang, sehingga target penyerapan TBS petani atas produksi CPO dapat terjaga dengan mengikuti regulasi yang ada. Momen ini jangan sampai hilang, sejalan dengan carut-marutnya kelangkaan migor di tanah air dan kebijakan pelarangan export, yang salah satu faktor penyebab kurang patuhnya perusahaan sawit swasta terhadap aturan dan himbauan dari pemerintah.

Apa yang disampaikan oleh Menteri Pertanian, Bapak Prof. DR. Syahril Yasin Limpo, SH, MH, pada saat Rakornas Sawit di hotel Pullman, Jakarta, tanggal 27 Pebruari 2023, sangat menarik, mengawali pidato dengan lagu "Ibu Pertiwi" ciptaan : Ismail Marzuki. Beliau mengutarakan kegundahan ditengah potensi SDA dan SDM serta regulasi yang cukup, akan tetapi kelapa sawit seperti asing di rumah sendiri.

Jika dikaitkan dengan kinerja PTPN yang seperti terjebak dalam status BUMN, PTPN seperti kesusahan bahkan sulit untuk memerankan diri sebagai lembaga parastatal (perusahaan dengan saham negara/pemerintah).

Hal ini yang menyebabkan dalam setiap tata niaga TBS dan kemitraan petani tidak terimplementasikan dengan baik. PTPN seringkali kalah bersaing dengan para agen/bandar/tengkulak/perusahaan sawit swasta dalam membeli hasil produksi TBS petani, dimana para agen/bandar/tengkulak/perusahaan sawit swasta di lapangan berkiprah lebih lincah dan seperti tanpa beban, mereka sah-sah saja membeli TBS petani bahkan diatas harga penetapan Tim Penetapan Harga.

Betul PTPN sepertinya tidak mungkin untuk meniru apa yang dilakukan para agen/bandar/tengkulak/perusahaan sawit swasta, karena PTPN harus berhadapan dengan auditor (internal-external), tetapi masalahnya lebih sering terjadi harga pembelian TBS petani oleh PTPN dibawah harga penetapan Tim Penetapan Harga.

Bagi petani, sudah pasti akan menjual ke agen/bandar/tengkulak/perusahaan sawit swasta karena berani membeli dengan harga yang menguntungkan para petani. Hal ini yang menjadi salah satu penyebab cerai dan bubarnya pola kemitraan : PIR-Plasma, KKPA dan pola kemitraan lainnya. Pertanyaannya..?? Dengan status parastatal, apakah PTPN bisa bersaing dalam membeli TBS petani..?

Dengan status sebagai BUMN, sepertinya susah PTPN untuk bisa "melawan" agen/bandar/tengkulak/perusahaan swasta dalam hal tata niaga TBS petani.
Dari pengalaman tahun lalu, kelangkaan migor, larangan export, anjloknya harga TBS, PTPN tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan tidak melakukan apa-apa, tetap menunggu instruksi induknya (pemerintah) ; langkah-langkah strategis apa yang harus dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Bahkan seperti terlihat janggal, ketika pemerintah kelabakan dan panik dengan terjadinya carut-marut kelangkaan & mahalnya harga migor. PTPN tidak mampu untuk hadir sebagai penyejuk situasi negara. Pada akhirnya, dengan terpaksa pemerintah mengambil kebijakan menyetop kran export dan kebijakan DMO, yang menjadi tsunami buat pelaku perkelapasawitan tanpa terkecuali, termasuk petani. Sangat tragis...!!!

Slogan BUMN : "BUMN untuk Indonesia" apakah bisa menjadikan PTPN sebagai solver problem permasalahan perkelapasawitan di Indonesia.? Apakah himbauan Menneg BUMN untuk mengajak jajarannya bisa merubah diri sebagai perusahaan parastatal untuk kepentingan mengatasi masalah perkelapasawitan Indonesia dengan tata kelola yang baik dan terukur tentunya.

Secara kebijakan politik, pemerintah sudah melakukan segala cara untuk mengatasi permasalahan terkait sawit. Mulai dari Presiden, Wapres, Menko Perekonomian, Menko Marves, Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan (bahkan ada pencopotan Menteri), Menteri Koperasi dan UKM, sudah ikut berperan aktif menjaga agar situasi tahun lalu tidak terulang. Dan semua kita paham, sektor sawit sebagai salah satu penyumbang devisa terbesar, sekaligus penyumbang naiknya inflasi negara.

Dari gambaran diatas, sudah bisa ditarik benang merah nya, PTPN sebagai perusahaan BUMN sudah barang tentu memiliki keterbatasan untuk memberikan masukan dan berperan aktif kepada pemerintah, meskipun sebagai pemain inti pemerintah di sektor perusahaan perkebunan.

Optimis menjadi keniscayaan, kita harus yakin pemerintah melalui Menneg BUMN akan melakukan kaji ulang akan permasalahan tersebut. Dan penulis berharap PTPN seharusnya menjadi palm policy nya pemerintah, karena PTPN milik pemerintah dan sebagai pionir perusahaan sawit dunia setelah Indonesia merdeka, serta memiliki kerangka yang dibutuhkan pemerintah untuk menerapkan kajian terkait kebijakan yang akan diterapkan dan dikeluarkan pemerintah sebagai regulasi dan aturan negara.

Oleh : Gus Dalhari Harahap
Ketua Harian DPP Apkasindo