HENDAK ke Sampuran Siluman di Langkat? Anda mesti perhitungkan musim yang sedang berlangsung. Kalau musim penghujan biasanya air terjun atau sampuran (dalam Bahasa Karo) ini sangat memukau. Airnya turun bak tirai jatuh dari ketinggian 25-30 meter. Indah sekali. Air itu berasal dari Lau Ratah yang mengalir di atasnya, jatuh ditampung kolam alam mirip kuali atau belanga di bawahnya. Karena itu sampuran ini juga disebut Air Terjun Namo Belanga. Pengunjung bebas menghamburkan diri di sini, menikmati airnya yang bening kehijauan dengan mandi, menyelam, berenang atau melompat dari dinding tebing sampuran.

Panorama keren itu, sekali lagi, hanya terjadi di musim penghujan.

Namun apabila di musim panas atau kemarau sampuran akan menghilang. Tak ada tirai air jatuh dari ketinggiannya. Kolam Namo Belanga pun kering seolah ditelan hutan. Keindahannya menghilang bak siluman. "Makanya masyarakat setempat menyebut air terjun ini Sampuran Siluman," kata Halim Ginting, seorang pemuda setempat yang juga ranger saat memandu kelompok kami menuju sampuran ini, Sabtu (7/1/2023) barusan.

Nah, kalau hendak ke Sampuran Siluman sebaiknya jangan di musim kemarau. Biasanya di bulan-bulan menjelang akhir tahun hingga menjelang pertengahan tahun adalah waktu yang cocok untuk berpetualang ke Sampuran Siluman.

Berpetualang? Iya, betul. Soalnya, untuk mencapai Sampuran Siluman pengunjung mesti berjalan kaki masuk ke hutan selama 30-45 menit. Hutan ini berada di kawasan Dusun Pinang Mulo, Desa Garunggang, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat.


Pengunjung asal Medan mesti ke Binjai telebih dulu untuk tiba di Dusun Pinang Mulo, kemudian meneruskan perjalanan melintasi jalur alternatif ke Berastagi, Tanah Karo, dari Langkat. Sekira satu jam berkendara dari Binjai, pengunjung akan tiba di jalan masuk ke Dusun Pinang Mulo di Desa Garunggang. Jalanannya sempit dan tanah licin, belum beraspal sama sekali. Butuh 10-15 menit untuk tiba ke dusun ini dari jalan masuk di tepi rute Binjai-Berastagi tadi. Pengunjung bisa menitipkan mobil atau sepedamotor di dusun ini, lalu melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Hati-hati, setelah melewati perkampungan yang dihuni 15 KK (kepala keluarga) di dusun itu sebagian jalanan berlumpur hingga menjelang pintu rimba ke Sampuran Siluman. Maklum musim penghujan.


Tetapi semua tantangan perjalanan melelahkan itu terbayar impas kala Sampuran Siluman atau Namo Belanga menghampar di depan mata. Suara primata dan kicauan burung pun meramaikan hutan seakan menyambut hangat pengunjung seperti kami. Suasana ini sering membuat pengunjung melupakan tantangan perjalanan masuk ke hutan yang berdampingan dengan Taman Nasional Gunung Leuser di Langkat ini. Mereka jadi larut menikmati keindahan alam hutan yang menjadi rumah Sampuran Siluman. Kadang lupa waktu. Konon pula ada sungai Lau Tembo mengalir deras di sisi Sampuran Siluman. Sungai Lau Tembo ini punya jeram bertingkat lima agak ke hulu, dimana airnya pun bening dan sejuk sekali.
"Saking menikmatinya, pernah ada yang nekad bermalam dengan kemping di sini, tetapi sejak pandemi Covid-19 dan jalan kampung ini rusak berlumpur jadi jarang pengunjung datang," ungkap Sinulingga, warga setempat. "Padahal biasanya ada saja orang datang ke Sampuran setiap hari, apalagi di akhir pekan."


Halim Ginting, ranger yang memandu kami, membenarkan Sinulingga. Dia menambahkan dalam sebulan ini baru ada empat kelompok kecil yang berkunjung masuk ke Sampuran Siluman. "Abang-abang ini kelompok keempat, mudah-mudahan ada banyak kelompok lain nanti," sebutnya.


Kami yang disebut Halim Ginting sebagai kelompok keempat sungguh menikmati Sampuran Siluman, Namo Belanga, hingga sungai Lau Tembo. Kami juga mengeksplorasi jeram-jeram di hulu Lau Tembo. Tak terasa sore pun jatuh, sebentar lagi maghrib juga masuk. "Hayuk, cukup lah hari ini. Kita ulangi lagi nanti," seru Faisal, seorang dari kelompok kami. Semuanya berkemas, siap mengikuti komando Faisal. Pulang.


Perjalanan keluar hutan menuju Dusun Pinang Mulo, dimana mobil dititipkan mungkin butuh waktu lebih lama. Pasalnya, jalanan mesti mendaki tebing-tebing hutan sebagaimana karakter Taman Nasional Gunung Leuser. Rasanya sama pun tantangannya dengan perjalanan saat datang tadi, tapi kepuasan telah bercengkrama dengan Sampuran Siluman dan Lau Tembo membuat kami berniat mengulanginya kelak. Inshaa Allah.*