MEDAN - Aroma persekongkolan jahat mafia tanah untuk menguasai lahan orang lain demi mendapatkan keuntungan pribadi di Helvetia mulai terkuak, Kamis, (5/1/2023).

Terlebih, dalam kasus pencaplokan tanah Merawati di Desa Helvetia, Kecamatan Labuhan Deli, Kabupaten Deliserdang.

Satu persatu pihak yang terlibat dalam dugaan pencaplokan lahan milik Merawati mulai terkuak ke permukaan.

Sesuai Putusan Mahkamah Agung RI No.139 K/ TUN/ 2002 tanggal 21 April 2004, Merawati secara sah memiliki sebidang tanah seluas 5.200 M2 di Dusun 2 Desa Helvetia.

Salah satu dictum putusan itu dengan tegas menyebutkan, bahwa tanah tersebut bukan bagian dari HGU PTP IX.

Bahkan kemudian keluar Surat Gubernur Sumut, masa Raja Inal Siregar yang melarang PTPN 2 (setelah dilebur dengan PTP IX) mendirikan bangunan apa pun di atas tanah tersebut.

Berdasarkan kekuatan inilah kemudian Merawati mengurus Surat Keterangan dari Camat Labuhan Deli. Dan seluruh data administrasi atas tanah ini ada di kantor Desa Helvetia dan kantor Camat Labuhan Deli.

Karena itu sangat mengherankan, kalau kemudian oknum Sekretaris Desa Helvetia Komaruddin, menandatangani surat pengakuan penguasaan fisik yang diajukan Rakio, atas lahan seluas 1.888 M2 yang jelas-jelas tidak sesuai dengan fakta di lapangan.

Begitu juga Camat Labuhan Deli Edi Syahputra Siregar, seharusnya tidak membubuhkan tandatangan mengetahui atau mendukung pengakuan yang diajukan Rakio.

Ditenggarai proses awal ini sudah menjadi skenario oknum-oknum mafia tanah yang diduga memonopoli setiap lahan eks HGU, untuk bisa mendapatkan lahan di wilayah bernilai ekonomi tinggi di Desa Helvetia itu.

Tim Verifikasi diduga terlibat

Pengakuan yang mal-administrasi itulah yang kemudian diajukan ke tim verifikasi areal eks HGU PTPN 2 yang berbasis di kantor Gubernur Sumut untuk diteliti dan ditetapkan besaran SPS (Surat Perintah Setor) ke PTPN 2 sebagai syarat untuk penghapus-bukuan dari asset PTPN 2.

Meski sudah mengantongi Surat Keterangan penguasaan fisik yang diketahui Kepala Desa Helvetia yang ditandatangani Sekdes Komaruddin, yang diduga surat tersebut tanpa tanggal dan bulan dan Camat Labuhan Deli, seharusnya tim verifikasi melakukan pengukuran ulang di lapangan.

Hal itu ternyata tidak dilakukan, meski ada anggota tim verifikasi yang turun ke kantor Desa Helvetia dan menemui Kepala Desa Haji Agus Salim.

"Memang ada mereka datang. Tapi hanya minta tandatangan bahwa mereka sudah hadir di sini,” ungkap Kepala Desa Helvetia.

Skenario jahat ini kemudian semakin mulus, ketika Rakio menyetor SPS ke PTPN 2 sebesar Rp3,1 miliar lebih dan PTPN 2 mengeluarkan surat keterangan penghapus-bukuan atas asset tanah dan bangunan seluas 1.888 M2 itu yang seperti diakui Rakio seluruhnya adalah asset PTPN 2.

Dasar Surat Keterangan yang ditandatangani SEVP Bussinis Support PTPN 2 Syahriadi Siregar ini yang kemudian menjadi dasar proses pembuatan Sertifikat Hak Milik (SHM) di Badan pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Deliserdang.

Semua proses penguasaan tanah di lokasi strategis ini dinilai sangat cepat.

Hanya dalam hitungan beberapa bulan, masih di tahun 2022, keluarlah sertifikat hak milik atas nama Rakio yang anehnya juga dalam beberapa waktu kemudian langsung dibalik nama menjadi milik Budi Kartono alias A Liong.

Padahal selama ini proses awal untk penghapusbukuan saja, setelah SPS dibayar ke PTPN 2, baru bisa keluar sekitar 6 bulan! Hal ini dengan tegas diungkapkan Kabag Asset PTPN 2 M Ridho Manurung di depan anggota Komisi A DPRD Sumut beberapa waktu lalu.

Saat ini seluruh fakta-fakta di balik proses merampasan atau pencaplokan tanah Merawati di Dusun 2 Desa Helvetia, sudah disampaikan ke Ditreskrim Polda Sumut dan sedang disipakan untuk dilaporkan juga ke tim Satgas Mafia Tanah di kejaksaan Tinggi Sumut.

Jika kasus ini terbongkar, maka bisa dipastikan sejumlah pihak terancam pidana, termasuk oknum-oknum di lingkungan tim verifikasi kantor Gubsu.

Apalagi saat ini pihak Merawati sudah mengajukan surat ke BPN Deliserdang, agar Sertifikat Hak Milik atas nama Budi Kartono diblokir dan dinyatakan tidak sah.

Sebelumnya, Merawati, Warga Dusun IX Jalan Banten Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli, Andi Ardianto selaku Direktur Ardianto Coorporate Law Office, mengaku pihaknya telah melakukan Dumas dan permohonan perlindungan hukum sesuai dengan surat nomor 01/ACLO/I/2023, ke beberapa pihak terkait di antaranya, Gubernur Sumatera Utara, Kapolda Sumatera Utara, Dirreskrimum Polda Sumatera Utara, Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Bupati Deliserdang, Inspektorat Kabupaten Deliserdang, serta Kepala Kantor Pertanahan Wilayah Sumatera Utara.

"Masyarakat punya harapan besar agar Menteri ATR/Kepala BPN mampu membongkar serta membabat habis dugaan sindikat mafia tanah di Desa Helvetia. Sebab, praktek dugaan mafia tanah ini adalah kejahatan luar biasa," ujar Andi.

Menurutnya, dugaan sindikat praktek mafia tanah bekerja secara kolektif. Sindikat itu kata Andi, diduga dari oknum aparatur pemerintah desa, kecamatan, notaris hingga oknum-oknum lainnya diduga turut terlibat dalam kasus tersebut.

"Bicara masalah mafia tanah, tidak usah jauh-jauh, di Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deli Serdang, ada kasusnya," ketusnya.*