SERDANG BEDAGAI - Sidang perdata perihal sengketa lahan antara warga Dusun 4, Desa Kota Galuh, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai dengan Nurhayati (penggugat) kembali berlanjut di Pengadilan Negeri Sei Rampah pada Rabu (7/9/2022). Konflik perebutan tanah yang berujung ke pengadilan itu, kembali dimulai di ruangan Chandra sekitar pukul 15: 20 WIB. Dimana sidang kali ini, menghadirkan dua orang saksi dari tergugat 3 yang bernama Bunju alias Ayu Gurame.

Dilihat langsung Gosumut.com di persidangan, situasi sidang yang diikuti kedua pihak berjalan dengan lancar. Namun satu sisi dipantau, situasi sidang memanas dari pihak penggugat, sebab saksi dari tergugat bercerita dengan alur jelas serta bukti-bukti yang kuat.

Dua saksi dari tergugat 3 itu bernama Tumiyem warga asal Kelurahan Tualang, Kabupaten Serdang Bedagai dan Bima Surya Jaya selaku Kepala Desa Kota Galuh.

Menurut Bima, tanah seluas 47 hektare yang digugat Nurhayati merupakan tanah yang memiliki alas hak. Dimana masyarakat yang tinggal di tempat itu turun temurun sejak jaman Belanda dan masa Kerajaan Serdang hingga saat ini.

"Mereka tinggal di sana sudah cukup lama. Sepengetahuan saya tanah itu tanah wakac. Kemudian dikelola ahli waris wakaf dan para masyarakat menyewa dengan bukti kuitansi," kata Bima dalam sidang yang berlangsung.

Selain itu, kata Bima alas hak yang di pegang Nurhayati itu juga tidak sama dengan luas wilayah di Desa Kota Galuh. Berkas yang dipegang Nurhayati dengan luas 64 hektare. Dimana Nurhayati mengaku sebagai anak Sultan. Padahal warga setempat sendiri tak mengenal siapa Nurhayati.

Bahkan Bima sendiri yang lahir di tempat yang itu, tidak mengetahui ada nama Nurhayati yang mengklaim pemilik sah tanah.

Sementara itu, Tumiyem warga asal Tualang yang tanahnya ikut digugat mengaku tidak mengenal Nurhayati dengan pengakuan anak Sultan.

Wanita empat anak itu juga bercerita bahwa dirinya masih ingat betul tanah yang ia injak dan tanah Desa Kota Galuh merupakan tanah yang digarap orang tua terdahulu.

"Dulu tanah itu kebun. Banyak pohon-pohon dan sayuran. Begitu digugat saya heran dan saya datang jadi saksi dari tergugat 3," kata Tumiyem kepada Gosumut.

Terpisah, Nurhayati merupakan satu diantara sekian orang yang mengatasnamakan lahan di Desa Galuh itu miliknya.

Perempuan yang mengaku keturunan anak Sultan ini, menggugat tiga masyarakat Desa Galuh yang di dalamnya terdapat sekira 100 kepala keluarga.

Mereka adalah Herman Hariantono alias Ali Tongkang (sebagai tergugat I), Tjang Jok Tjing alias Acin (tergugat II) dan Bunju alias Ayu Gurame (tergugat III).

Sedangkan Desa Kota Galuh sendiri merupakan desa yang memiliki potensi alam luar biasa. Desa yang memiliki luas sekira 47 hektar ini, ternyata dipenuhi berbagai macam usaha, mulai dari perabot rumah tangga, butut, peternak ayam hingga ikan.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, Dusun 4 yang dihuni sekira 100 Kepala Keluarga (KK) ini, terdapat 15 Kepala Keluarga petani ikan dengan jumlah kolam yang bervariasi. Bahkan ada yang memiliki sampai 40 unit kolam ikan. Jenis ikan yang dibudidayakan juga beragam seperti patin, gurami, nila dan lele.

Kapasitas produksi panennya dalam sekali panen bisa mencapai 10 ton. Sementara ikan tersebut dipasarkan ke berbagai daerah, di samping ada juga yang dibeli langsung agen untuk dijual ke daerah lain. Selain ikan, juga ada usaha 8 Kepala Keluarga (KK) petani ayam, kapasitas produksinya bervariasi, tergantung besar kecilnya usaha yang dikelola. Selanjutnya ada dua Kelapa Keluarga yang memiliki usaha perabot rumah tangga, dua butut, bakso serta usaha batok kelapa.

Tidak hanya potensi bisnis, Dusun IV ini juga memiliki peninggalan dari nenek moyang mereka, berupa ibadah Tionghoa yang sampai saat ini masih dipergunakan masyarakat setempat.

"Di Dusun IV ini warganya pada memiliki usaha, mulai dari ternak ayam, bebek, ikan, petani, dan ada juga toko pembuatan perabotan," jelas Bakzit (60) baru-baru ini.

Kata Bakzit, kakeknya pertama kali menetap di Dusun ini awalnya memulai usaha bercocok tanam padi dan sayuran. Hampir seratusan tahun lalu keluarga besarnya sudah tinggal di wilayah ini. Selama tinggal di daerah ini, Bakzit mengaku tidak ada menghadapi masalah. Sebagai generasi keempat yang tinggal di dusun ini, usaha yang dikelola pun semakin beragam.

Bakzit sendiri sudah memulai usaha budi daya ikan sejak 30 tahun terakhir. Usaha ini menjadi salah satu sumber penghasilan keluarga, meski dalam mengelolanya tidak selalu memberikan keuntungan besar. Bahkan akunya, usaha ikan ini nyaris tidak bisa membawanya menjadi kaya.

Namun dengan adanya oknum yang melakukan pengukuran lahan di Dusun tersebut, masih menimbulkan tanda tanya. Sebab setelah bertahun-tahun dan turun temurun tinggal, mereka pertanyakan alas hak lahan tersebut. Terlebih selama menetap di Dusun ini, setiap tahunnya rutin membayarkan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan). *