MEDAN - Kunjungan delegasi Woman 20 (W20) Summit di Danau Toba, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara pada 18 hingga 20 Juli lalu, menyita perhatian bagi putri daerah. Dimomen acara W 20 berlangsung, masyarakat adat, putri-putri daerah dan elemen lainnya, menggelar aksi menolak, di tengah Danau Toba diiringi dengan kapal-kapal yang membawa spanduk raksasa berisi tulisan "Perempuan Sumatra Utara Lawan Deforestasi".
 
Para Putri daerah menilai, masyarakat setempat akan ter deportasi dengan skema W20 yang konon mengedepankan isu kesetaraan dan diskriminasi gender, ekonomi inklusif, perempuan marjinal dan kesehatan. 
 
Menurut mereka, kurun waktu 10 tahun lebih masyarakat adat sudah banyak kehilangan masa depannya akibat tanah dan tempat dirampas oleh perusahaan-perusahaan yang hanya menguntungkan sepihak. 
 
"Aksi ini adalah bentuk penyampaian aspirasi kami bahwa pertemuan W20 Summit yang mengedepankan isu kesetaraan dan diskriminasi gender, ekonomi inklusif, perempuan marjinal dan kesehatan, seharusnya juga berkaca pada apa yang terjadi di hutan Sumatera Utara dan sekitarnya. Banyak masyarakat adat khususnya perempuan adat dan pedesaan terpaksa kehilangan ruang hidupnya akibat perampasan tanah dan hutan yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar, demi meraup keuntungan semata," kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Sekar Banjaran Aji, dalam keterangannya kepada Gosumut, Sabtu (23/7/2022). 
 
Kemudian Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Rocky Pasaribu menilai, W20 ini akan menjadi masalah baru bagi masyarakat adat setempat. Sebab menurutnya, walaupun Presiden Jokowi telah menyerahkan 4 SK Hutan Adat di Danau Toba pada awal Februari 2022, namun belum menjawab persoalan masyarakat adat di Danau Toba.
 
"Masih banyak konflik agraria yang belum diselesaikan dengan serius. Atas nama pembangunan perampasan tanah terus terjadi. Selain perampasan tanah adat, kerusakan hutan dan lingkungan juga tidak serius ditangani,” kata Rocky.