JAKARTA - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebutkan bahwa tindak kejahatan pencucian uang semakin marak terjadi di Indonesia.

Deputi Bidang Pemberantasan PPATK Tuti Wahyuningsih mengatakan pihaknya menemukan lebih dari Rp 1,6 triliun transaksi mencurigakan.

"Secara umum, berdasarkan basis data pelaporan transaksi keuangan mencurigakan selama periode 1 Januari 2021-Maret 2022 terdapat sebanyak lebih dari 50 LTKM (Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan) dengan total nilai transaksi lebih dari Rp 1,6 triliun. Mayoritas indikasi tindak pidana asal pada transaksi kripto terkait perjudian, penipuan, prostitusi," ungkap Tutidalam Seal Webinar Series mengenai "Mengenal Lebih Dekat Aset Kripto", seperti dikutip Sabtu (26/3/2022).

Adapun PPATK sejauh ini telah melakukan penghentian sementara terhadap 121 rekening terkait investasi ilegal yang dimiliki 46 pihak pada 56 penyedia jasa keuangan dengan total nominal Rp 353,98 miliar.

"Berdasarkan kerja sama dengan pihak penegak hukum dan otoritas terkait, diketahui adanya aliran dana pencucian uang hasil investasi ilegal yang melibatkan dua pihak afiliator trading telah mengalir ke luar negeri. Hingga saat ini PPATK telah melakukan kerja sama dengan 5 FIU (Financial Intelligence Unit) di luar negeri," terang Tuti.

Baca: Temuan PPTATK: DKI Paling Berisiko Terjadinya Aksi Cuci Uang
Dalam investigasi ini ditemukan beberapa penyembunyian aset yakni berupa aset kripto di dua exchanger di Indonesia maupun luar negeri.

Dalam upaya menyembunyikan dan menyamarkan hasil kejahatannya, jelas Tuti, pelaku kejahatan menggunakan metode transaksi melalui Payment Gateway. Di samping itu, dana investasi ilegal juga terafiliasi dengan entitas pengelola sejumlah situs judi online.

Menurut dia, langkah mitigasi risiko telah dilakukan melalui peraturan dan kebijakan serta strategi mengenai hal ini.

PPATK mewajibkan Pedagang Fisik Aset Kripto menerapkan prinsip mengenali pengguna jasa yang ditetapkan lembaga pengawas dan pengatur serta kewajiban menyampaikan laporan kepada PPATK yang meliputi LKTM, Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT), serta Laporan Transaksi dari/ke Luar Negeri.

Hal ini sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana.

PPATK bersama FIU di Kawasan ASEAN Plus Australia dan New Zealand juga telah menyusun red flag indicators dalam pendeteksian transaksi keuangan mencurigakan.

"Saya ingin mengingatkan kepada seluruh masyarakat untuk lebih waspada dalam berinvestasi dan bagi pelaku industri memiliki kewajiban untuk melakukan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (PMPJ) dan kewajiban pelaporan transaksi kepada PPATK agar menjaga integritas sistem keuangan," pungkas Tuti. *