MEDAN - Asosiasi Peternak Ayam Rakyat Indonesia (ASPARI) Sumut mengadukan praktek monopoli dan oligopoli yang dilakukan perusahaan terintegrasi. Hal tersebut diungkapkan Ketua Umum Asosiasi Peternak Ayam Rakyat Indonesia (ASPARI) Sumut, Tengku Zulkarnaen saat berkunjung ke KPPU Wilayah I yang diterima Kepala Kantor Wilayah I KPPU Ridho Pamungkas didampingi Kepala Bidang Kajian dan Advokasi, Devi Lucy Siadari, Kamis (24/3/2022). 
 
Didampingi pengurus ASPARI di antaranya Wakil Ketua Alex, Bendahara, Edison dan anggota yang lain, Zulkarnaen menyampaikan permasalahan yang dihadapi para peternak dalam melakukan melakukan usaha budidaya ayam ras pedaging (broiler) yang disebabkan praktek monopoli dan oligopoli yang dilakukan oleh perusahaan terintegrasi. 
 
Hal tersebut menyebabkan harga ayam di tingkat peternak menjadi rendah, sementara harga pakan ternak selalu naik, sehingga harga jual ayam selalu di bawah harga produksi.
 
“Pabrik sengaja menciptakan kemiskinan untuk mengawali perbudakan, mulai dari kualitas bibit, pakan serta obat-obatan. Harga jual dan pasar pun dikuasai pihak pabrik secara monopoli dan oligopoli. Peternak pasti miskin dan menjadi budak belian pabrik dengan memelihara tanpa memerhatikan lagi kualitas bibit. Peternak mandiri pun terpaksa menjadi peternak mitra," katanya.
 
Zulkarnaen juga menilai kebijakan pemerintah tidak memberikan perlindungan kepada peternak. Undang-Undang 18 Tahun 2009 menyatakan bahwa perusahaan integrator diperbolehkan untuk berbudidaya. 
 
Padahal di Undang-Undang sebelumnya perusahaan integrator tidak diperkenankan untuk berbudidaya karena hal tersebut merupakan ranah peternak rakyat. Jika integrator dapat berbudidaya dan menjualnya dipasar tradisional akan terjadi persaingan tidak sehat antara integrator dan peternak rakyat.
 
“Adanya praktek monopoli dan oligopoli yang dilakukan perusahaan integrator tentunya menjadi ranah KPPU. Untuk itu kami siap mendukung KPPU dalam mengungkap praktek monopoli dalam industri unggas. Apa bukti yang dibutuhkan KPPU akan kami bantu siapkan,” ujar Zulkarnaen.
 
Menanggapi hal tersebut, Ridho menyampaikan integrasi vertikal oleh integrator diindustri unggas sangat berpotensi melanggar UU No. 5/1999. 
 
Mengutip dari putusan Mahkamah Konstitusi terkait Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009, penafsiran menurut pembentuk undang-undang, sudah sangat terang bahwa “integrasi” dalam ketentuan dimaksud tidak pernah dimaksudkan sebagai integrasi vertikal. 
 
”Dalam industri yang terintegrasi seperti di unggas, ada beberapa pasal yang berpotensi dilanggar, khususnya pelanggaran oligopoli, penetapan harga, kartel, integrasi vertikal, diskriminasi, dan penyalahgunaan posisi dominan. Tentunya kami sangat terbantu apabila ASPARI dapat membantu dalam menyampaikan data dan informasi terkait dugaan pelanggaran UU 5 tahun 1999 yang dilakukan oleh pihak perusahaan” sebut Ridho.
 
Ridho mengatakan sebelumnya KPPU telah memberikan saran pertimbangan kepada pemerintah untuk membenahi kembali aturan soal bisnis perunggasan yang memungkinkan pengusaha besar mendominasi industri dari hulu ke hilir. Sebab, hal ini berpotensi membuat persaingan usaha jadi tidak sehat. 
 
”Selain dari sisi kebijakan, KPPU sendiri akan terus melakukan pengawasan terhadap pelaku usaha yang berpotensi melanggar UU No. 5/1999, khususnya untuk menjamin kesetaraan bagi peternak rakyat dalam rantai pasok industri perunggasan,” pungkasnya.