MEDAN - Pasca penetapan 7 nama komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sumut sejumlah peserta buka suara, protes meminta seleksi diulang.

Pasalnya, para peserta yang ikut seleksi fit and proper test digelar Komisi A DPRD Sumut pada 20 hingga 21 Januari 2022 merasa terkesan 'ecek-ecek'.

Mereka mengaku melihat banyak terjadi kejanggalan, baik saat proses pemilihan, hingga pemberian skoring terhadap peserta.

Kecurangan inilah menjadi alasan para peserta buka suara. Misalnya Ahmad Zainal Lubis, sebagai peserta yang mendapat jatah fit and proper tes pada Kamis 20 Januari 2022.

Ia diundang hadir kembali pada Jumat 21 Januari 2022 pukul 15.00 WIB. Setelah tiba di ruang Komisi A DPRD Sumut, Zainal menyaksikan adanya peserta yang memaparkan visi misinya tanpa membawa bahan tertulis sebagaimana syarat utama untuk dapat ikut uji kelayakan. Anehnya, orang tersebut bisa lolos menjadi anggota KPID Sumut.

"Kami kan peserta fit and proper test sesi pertama. Besoknya disuruh datang oleh tenaga ahli komisi A bernama Khairul, mau foto bareng katanya. Datanglah saya. Saya terkejut, melihat calon bernama Ramses Simanullang tidak membawa bahan pemaparannya dan itu dipertanyakan sama anggota dewan. Di sini saja dia sudah tidak patuh dengan syarat utama untuk uji kelayakan. Anehnya, kok bisa lolos dia," beber Zainal, Jumat (28/1/2022).

Peserta lain bernama Valdesz Junianto Nainggola mengatakan bahwa dalam pelaksanaan fit and proper test, anggota Komisi A DPRD Sumut tidak menunjukkan rasa penghargaan mereka terhadap calon anggota KPID Sumut yang sedang memaparkan visi misinya.

Ia menuturkan, dewan legislatif nampak sibuk mengobrol, bermain gadget dan keluar masuk ruangan.

Mirisnya, mereka yang tidak menyimak bahkan tidak bertanya dengan materi tersebut bisa langsung memberikan nilai.

"Selama pemaparan itu saya merasa presentasi yang sudah saya kerjakan dengan sebaik-baiknya itu seperti tidak dihargai. Ada anggota Komisi A yang melihat-lihat HP, berbicara dan bisik-bisik diantara mereka, bahkan ada yang sambil menelepon dengan suara yang cukup keras yang mengganggu konsentrasi saya saat presentasi. Saya menyampaikan slide sebanyak 26 halaman dan membagikan 10 kopian print slide yang diperbanyak 20 eksemplar sesuai arahan staf Komisi A via WA. Seusai presentasi hanya tiga anggota Komisi A yang bertanya, dan kemudian ada 2 anggota yang langsung memberikan nilai," ungkap Valdesz mengingat hari uji kelayakan sesi kedua yang dijalankannya.

Video viral penolakan dari anggota Komisi A yakni Meryl Rouli Boru Saragih dan Rudy Hermanto pada Sabtu 22 Januari 2022 dini hari lalu menjadi keyakinan dari peserta bernama Viona Sekar Bayu untuk mempertanyakan dasar perolehan nilai 7 nama terpilih.

Pasalnya, saat uji kelayakan berlangsung, tidak seluruh anggota dewan hadir, menyimak dan memberikan nilai terhadap visi dan misi yang mereka utarakan.

"Ketika saya FPT kemarin hanya ada 10-12 anggota dewan di dalam, saya gak begitu hafal nama2 mereka, hanya ada dua dewan yang aktif bertanya. Namun saya tidak tahu apa yang menjadi tolak ukur fit kemarin. Saya sangat menyesalkan video dan berita yang beredar kenapa nama-nama yang terpilih bukan hasil dari seluruh suara anggota dewan komisi A, saya menilai ada ketidakadilan di sini, harusnya DPR itu mewakili suara rakyat (suara anggota dewan semua dalam hal ini khususnya Komisi A) bukan hanya suara beberapa orang saja," tegas Viona.

Selaras, pengalaman tersebut juga dirasakan oleh Robinson Simbolon dan Eddy Iriawan.

Saat proses uji kelayakan berlangsung, suasana ruang pemaparan sudah dapat ditebaknya sebagai formalitas saja.

Sebab, ia hanya diuji oleh beberapa anggota komisi A yang di dalam ruangan cenderung berisik karena mementingkan obrolan pribadi dibanding memperhatikan pemaparannya.

"Saat fit, yang hadir hanya 7 orang, rapat dipimpin pak Subandi. Ketika paparan selama 10 menit, anggota dewan yang hadir asyik ngobrol, yang bertanya hanya 2 orang yaitu Pak Rudi Hermanto dan Pak Rudi Rangkuti. Suasananya enggak serius dan agak bising. Kesan fit hanya formalitas sangat terasa. 13 anggota dewan yang lain entah di mana," cecar Robin.

Senada dengan itu meski tidak ingin berkomentar banyak, peserta bernama Nurhasanah Nasution tetap merasakan keanehan dalam fit and propertest yang berlangsung.

Menurutnya, para anggota Komisi A harus menyadari kesalahannya tersebut. Sebab, segala tindakan yang dilakukan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.

"Di dalam ruangan dipuji-puji, ditepuk tangani. intinya Komisi A DPRD harus jujur. Tuhan mencatat dan akan minta pertanggungjawaban," ucap Nurhasanah mengingatkan.

Sementara itu, narahubung aksi penolakan hasil penetapan 7 nama anggota KPID Sumut periode 2021-2024, T Prasetiyo dan Topan Bilardo Marpaung, yang dijumpai di salah satu kafe di kawasan Jalan Sudirman Medan menegaskan bahwa penolakan mereka ini adalah bentuk nyata untuk memutus rantai kecurangan yang dilakukan oleh oknum Komisi A dalam pemilihan lembaga adhoc.

"Itulah pengalaman kami dan teman-teman yang lain. Bukan dibuat-buat. Itu faktanya. Kalau hal-hal seperti ini dibiarkan, kapan Sumut akan maju. Kita miris melihat perilaku ini membudaya. Kami akan kawal terus kasus ini. Kalau bisa, pemilihan diulang. Siapapun yang terpilih, kita tidak keberatan asal prosesnya jujur," ungkap Prasetiyo didampingi Topan.

Kendati demikian, hingga saat ini belim ada tanggapan dari DPRD Sumut terkait dugaan kecurangan yang dikeluhkan oleh peserta seleksi KPID Sumut tersebut.