JAKARTA - Ombudsman RI menemukan lima permasalahan tata kelola pupuk bersubsidi yang berpotensi memunculkan maladministrasi atau cacat administrasi. Pertama, terkait sasaran petani atau kelompok tani penerima pupuk bersubsidi.

Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika menyebut bahwa saat ini kriteria penerima pupuk subsidi tidak diatur secara langsung dalam aturan turunan undang-undang yang memayungi perlindungan petani hingga pelayanan publik.

UU yang dimaksud adalah UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan.

Selain itu, ia menilai seharusnya kriteria penerima bantuan diatur dalam beleid turunan, yakni Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Kedua, terkait akurasi data penerima pupuk bersubsidi. Dari kajiannya, ditemukan pendataan petani penerima pupuk bersubsidi masih tidak akurat dan memakan waktu panjang. Walhasil, karut marut pendataan pun berdampak ke perencanaan dan buruknya penyaluran bantuan.

Ketiga, mekanisme distribusi. Ia menemukan terjadi masalah akses bagi petani untuk memperoleh pupuk bersubsidi. Ia juga menyoroti transparansi proses penunjukan distributor dan pengecer resmi.

Keempat, efektifitas penyaluran. Yeka mengatakan mekanisme penyaluran pupuk subsidi belum selaras dengan asas penyelenggaraan pelayanan publik dan prinsip-prinsip yang tepat.

Kelima, mekanisme pengawasan distribusi dan penyaluran pupuk bersubsidi belum efektif, sehingga persoalan salah sasar dan penyelewengan penyaluran masih terjadi.

"Kelima permasalahan tata kelola pupuk bersubsidi tersebut berpotensi memunculkan temuan maladministrasi dan karenanya perlu dicegah," terang dia pada konferensi pers daring, Selasa (30/11/2021).

Yeka menyebut kesimpulan dibuat usai Ombudsman RI turun ke lapangan untuk menindaklanjuti keluhan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menilai program pupuk bersubsidi tak memberikan hasil nyata dan perlu dievaluasi. Padahal, sejak 2015, lebih dari Rp24 triliun dana APBN dikucurkan untuk program tersebut.

Mengamini Jokowi, Yeka mengatakan program pupuk bersubsidi saat ini belum dapat dijadikan sebagai instrumen meningkatkan produksi pertanian.

"Ombudsman RI menilai kriteria petani penerima pupuk bersubsidi yang diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian 49/2020 tentang Alokasi dan HET Pupuk Bersubsidi 2021 menyebabkan pemberian pupuk bersubsidi belum memberikan hasil yang setimpal," jelasnya.

Temuan Ombudsman mendapati alokasi pupuk bersubsidi terhadap kebutuhannnya rata-rata hanya mencapai 38 persen karena anggaran yang terbatas sedangkan kebutuhan mencapai 24 juta ton. Sebagai informasi, tahun ini pupuk bersubsidi hanya diberikan sebanyak 9 juta ton saja.

Melihat minimnya anggaran dan alokasi pupuk bersubsidi, dia mengusulkan agar pemerintah mengatur lebih detail kriteria dan syarat penerima agar lebih tepat sasaran.

Yeka mengatakan saat ini alokasi subsidi pupuk harus dibagi untuk 69 komoditas tanam. Dari kacamatanya, mestinya pupuk bersubsidi diberikan untuk komoditas pokok saja, seperti padi dan jagung.

Selain itu, ia menuturkan harusnya pupuk bersubsidi diberikan untuk petani berlahan tanam kecil saja. Usulannya, pupuk bersubsidi harus diberikan 100 persen kepada petani tanaman pangan dan hortikultura dengan luas lahan garapan di bawah 0,1 hektare.

Lalu, pupuk bersubsidi juga diberikan 100 persen hanya untuk petani padi dan jagung yang memiliki lahan garapan di bawah 0,5 hektare (ha) untuk tanaman padi dan jagung.

Opsi selanjutnya adalah pupuk bersubsidi dialokasikan untuk petani dengan luas lahan garapan di bawah 1 hektare dengan komoditas strategis dan rasio realisasi kebutuhan pupuk minimal 60 persen.

"Kebijakan yang berumur 52 tahun ini ternyata dinilai masih belum memberikan hasil yang setimpal," tutupnya.*