BICARA Pilkades bukan hanya bicara tahapan proseduralnya saja, tetapi jauh lebih luas lagi. Seperti deteksi dini persoalan dan harapan besar di kemudian hari. Atas dasar ini, penulis merasa tertarik memberikan pandangan mengenai hal tersebut.

Seperti yang akan terjadi di Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Pemilihan kepala desa serentak di kabupaten ini akan digelar pada 23 November 2021. Pesta demokrasi ini akan diikuti oleh 200 dari 241 desa di 15 kecamatan. Segenap stakeholders yang berkepentingan, sekarang sedang sibuk menyukseskan pesta rakyat tersebut.

Oleh karena Pilkades merupakan pengejawantahan demokrasi, maka pengamanan dan penertiban menjadi keniscayaan. Pelaksanaan Pilkades kerap kali menemui jalan terjal, sehingga tidak mencapai tujuan mulia Pilkades itu sendiri. Problem ini dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian (memang masih banyak perspektif lain).

Pertama, pengkotak-pekotakan. Terdapat polarisasi dan keterbelahan yang luar biasa dalam masyarakat. Ada gap antara pendukung yang satu dengan pendukung yang lain. Ketika hasil pemilihan sudah diumumkan, pembelahan kelompok ini  masih bertahan. Tak jarang dalam beberapa kondisi, pengkotakan ini berubah menjadi kebencian hingga menciptakan chaos.

Oleh karena itu, perlu sinergitas dari masing-masing calon, setiap tim sukses dan para kelompok pendukung juga seluruh elemen masyarakat untuk mengkondusifkan suasana, saling merangkul dan kembali bersatu. Dan perlu diingat membangun desa butuh kekuatan besar yakni pikiran dan kerjasama semua elemen desa.

Kedua, politik uang. Politik uang menjadi salah satu problem besar dalam demokrasi Indonesia. Problem ini bukan hanya menjangkit pesta demokrasi supradesa (Pemilukada, Pilpres, Pileg). Ternyata penyakit ini kini sudah menjalar hingga ketingkat desa.   

Bukan hanya diartikan sebagai praktek tidak sehat, jual beli suara dapat menciptakan demokrasi cacat. Luky Djani dalam "Merancang Arah Baru Demokrasi" (2014) menuliskan jual beli suara mengakibatkan lunturnya nilai-nilai demokrasi, mendelegitimasi dan mendistorsi proses Pemilu, melemahkan akuntabilitas politik (vertical) antara politikus dan pemilih, melemahkan sistem kepartaian, dan menghadirkan politikus korup.

Ketiga, kepemimpinan. Orang bijak mengatakan seorang pemimpin harus menjadi teladan bagi orang yang dipimpinnya. Pemimpin merupakan panutan, sebagai contoh yang baik, dapat ditiru dari sikap, perilaku juga pemikiran. Pemimpin juga harus bisa mengayomi anggotanya dan masih banyak lagi pendapat orang mengartikan pemimpin.

Seorang kepala desa juga merupakan seorang pemimpin. Calon kepala desa harus mengerti bahwa kelak ketika dirinya terpilih, dia merupakan pelayan masyarakat. Seringkali konsep ini dibalik-balik, mengharapkan dilayani.

Kepala desa berkedudukan sebagai kepala pemerintahan desa wajib memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 84 Tahun 2015 mengamanatkan kepala desa berekewajiban melaksanakan urusan pemerintahan juga mengembangkan perekonomian dan kehidupan sosial, politik masyarakat desa.

Besarnya tangung jawab kepala desa harus sebanding dengan kapasitas yang dimiliki setiap calon. Maka sebelum menggunakan hak pilihnya, ada beberapa kriteria yang dapat masyarakat gunakan sebagai indikator untuk menilai layak atau tidaknya seorang calon kepala desa. Kriteria tersebut berupa sikap, disiplin, tanggung jawab masing-masing calon. Selain itu, cermati track record (Rekam jejak), prestasi, visi dan misi.  

Penguatan demokrasi desa

Seringkali desa selalu dipandang sebelah mata. Bagi orang kota, desa selalu dilihat sebagai wilayah kumuh, terbelakang, miskin dan sejuta permasalahan masyarakat lainnya. Tetapi soal  demokrasi, penulis memiliki keyakinan bahwa demokrasi desa masih lebih baik daripada demokrasi kabupaten/kota ataupun provinsi.

Diperlukan setidaknya dua unsur untuk mewujudkan demokrasi desa  yang baik. Pertama, keterbukaan dan partisipasi. Dalam sistem demokrasi keterbukaan menjadi prasyarat utama, yang kemudian melahirkan partisipasi masyarakat. Tercipta sistem yang terbuka, tidak banyak rintangan bagi mereka yang ingin mengekspresikan opininya. Kemudian masyarakat mutlak memiliki hak untuk berperan serta. Keikutsertaan masyarakat sedikit banyaknya akan membantu terbangunnya transparansi.

Kedua, musyawarah. Pemerintahan lokal yang bagus harus diwarnai oleh musyawarah dengan warga, di samping keterbukaan yang mereka gulirkan. Untuk menarik sebuah keputusan, perlu berbagai pengalaman dan musyawarah kolektif atas dasar semangat untuk saling memberi dan menerima. Lembaga pemerintah desa harus didesain sedemikian rupa sehingga memungkinkan semua warga dapat berdialog.

Biar bagaimanapun demokrasi desa juga merupakan bagian dari demokrasi negara ini. Pemerintah pusat dan Pemda harus senantiasa memberikan perhatinnya. Memberikan pendidikan dan pendewasaan politik pemerintahan.  Karena tidak menutup menutup kemungkinan kualitas demokrasi di desa bisa bagus. Sehingga dapat menjadi contoh bagi wilayah administarif diatasnya (kabupaten/kota, provinsi, nasional).

Kabupaten Tapanuli utara yang mayoritas penduduknya merupakan suku Batak dikenal memiliki nilai sosial, budaya yang kental. Masih mudah untuk menemukan sikap-sikap toleran, jujur, perilaku adil. Lewat pergaulan hidup nilai-nilai tersebut selalu ditekankan dan dipelihara. Nilai ini tidak kontra tetapi bagian dari demokrasi Indonesia. Pergaulan hidup yang sudah terbangun tidak boleh rusak hanya karena pilkades. Tetapi pilkades menjadikan pergaulan hidup masyarakat desa Tapanuli Utara itu  menjadi lebih sempurna.    

Sebagai penutup, penulis mengajak untuk membaca kembali pikiran Bung Karno dalam buku "Di Bawah Bendera Revolusi" (1964) mengutarakan demokrasi Indonesia harus demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Tidak cukup berdemokrasi dalam Pemilu saja. Artinya disamping memberikan kesempatan yang sama dalam politik juga menciptakan keadilan dan kesejahteraan di bidang ekonomi.
 

• Penulis adalah Wakil Ketua Imataput-Jambi juga Kader DPC GmnI Jambi