JAKARTA - Kekhawatiran berkembang di kalangan pekerja migran Indonesia. Mereka khawatir sertifikat vaksin Covid-19 tidak akan diterima oleh beberapa negara tujuan. Pasalnya, kurangnya kepercayaan negara lain terhadap program vaksinasi Tanah Air.

Hal itu tidak terlepas dari skandal baru-baru ini terkait keamanan data dan sertifikat vaksin palsu di Indonesia. Itu dianggap berpotensi menghambat penempatan pekerja migran yang sebelumnya telah menderita akibat lockdown pandemi Covid-19.

"(Berkembangnya) sertifikat vaksin palsu di Indonesia akan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap (bukti vaksinasi) pekerja migran Indonesia. Ini menjadi perhatian (kami)," kata Juru Bicara Badan Koordinasi Migran Asia di Hong Kong, Eni Lestari dikutip dari SCMP, Jumat (10/9/2021).

"Bahkan tanpa (kasus) sertifikat vaksin palsu, pemerintah Hong Kong tidak terlalu mempercayai catatan vaksinasi yang dikeluarkan di Filipina dan Indonesia," tambahnya.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun tidak luput dari kebocoran data. Sertifikat vaksinnya yang bocor itu menampilkan nomor induk kependudukan (NIK), tanggal lahir dan tanggal vaksinnya.

Pekan lalu, polisi Jakarta menangkap empat tersangka pemalsuan sertifikat vaksinasi COVID-19. Dua di antaranya telah membuat 93 dokumen vaksinasi palsu melalui aplikasi PeduliLindungi. Sertifikat vaksin palsu juga ditemukan di Jawa Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Bali.

Salah satu pelakunya adalah seorang pegawai negeri sipil (PNS) yang memiliki akses data input. Padahal aplikasi tersebut sebagai penentu orang boleh bepergian atau memasuki pusat perbelanjaan.

Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah mengatakan maraknya sertifikat vaksin palsu akibat kebijakan pemerintah yang terburu-buru menetapkan sebagai syarat untuk beraktivitas sehari-hari.

"Kebijakan ini terpaksa karena program imunisasi di Indonesia tidak merata antar daerah. Persyaratan menggunakan bukti vaksinasi untuk segala jenis kebutuhan memacu peluang untuk mencetak (keuntungan) beberapa individu," jelasnya.

Trubus memperingatkan bahwa pemalsuan itu dapat menumbuhkan ketidakpercayaan yang meluas terhadap program vaksinasi Indonesia. "Masyarakat Internasional mungkin bertanya, 'benarkah 65 juta orang Indonesia telah divaksinasi?' Juga sulit untuk memverifikasi data vaksinasi karena ini telah dimonopoli oleh pemerintah," katanya.*