MEDAN - Tim Seleksi Calon Anggota Komisi Informasi Sumatera Utara dinilai tidak profesional, salah satunya karena meloloskan mantan terpidana koruptor yaitu Shakira Zandi masuk dalam lima belas besar. Timsel yang terdiri dari Prof Subhilhar (USU), Prof Amin Siagian (Unimed), Prof Muhammad Hatta (tokoh masyarakat), M Fitriyus (Pemprov Sumut) dan Hendra J Kede (Komisioner KI Pusat) meloloskan nama Shakira Zandi dalam tahapan 15 besar pemilihan calon anggota Komisi Informasi Provinsi Sumatera Utara.

Sakhira Zandi diketahui sebagai mantan Kepala Biro Bina Kemasyarakatan dan Sosial (Kabiro Binkemsos) Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Utara. Sakhira Zandi baru bebas menjalani hukuman dari Rumah Tahanan Negara (Rutan) Klas I Medan bulan Juni tahun 2014.

Sakhira Zandi menjalani hukuman atas kasus korupsi dana Bansos 22 lembaga diduga fiktif dimana kerugian negara mencapai 2,4 miliar rupiah lebih. Sakhira Zandi dalam kasus tersebut selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) secara bersama-sama dengan rekannya yang bernama Ahmad Faisal terbukti bersalah ikut menyetujui dan menandatangani kwitansi pembayaran penyaluran dana Bansos terhadap 22 lembaga yang diduga fiktif.

Anggota Komisi Nasional Perempuan dan Anak, Veryanto Sitohang menilai timsel mengabaikan bahwa sangat penting 30 persen perempuan untuk duduk dalam institusi pengambilan keputusan. Hal ini merujuk pada UU No. 7 Tahun 1984 tentang Konfensi Cedaw atau penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

Dalam konfrensi tersebut, pemerintah dalam hal ini harus memperhatikan pentingnya kehadiran perempuan di dalam institusi pengambilan keputusan. Bahwa dalam setiap kementrian lembaga atau organisasi lain bahwa keterwakilan perempuan 30 persen itu harus diakomodir.

“Ini yang disebut dengan affirmative action. Hasil 15 besar hanya satu calon perempuan ini berarti tim seleksi mengabaikan prinsip itu. Apalagi kita dengar ada satu nama mantan koruptor. Saya pikir tim seleksi perlu mengevaluasi hasil keputusan mereka agar lebih jernih melihat calon yang memiliki integritas,” jelas Veryanto Sitohang, Senin (6/9).

Ditambahkannya, Timsel juga perlu mengevaluasi untuk memasukkan kandidat perempuan lainnya, sehingga kuota 30 persen itu bisa terpenuhi. Tim seleksi harusnya menganulir mantan koruptor karena integritasnya sudah dibuktikan dari keputusan pengadilan atas kasus korupsi dana Bansos.

“Saya berharap DPRD Sumatera Utara bisa mengkritisi kinerja Timsel, termasuk menganulir mantan terpidana koruptor lolos dalam 15 besar,” tegasnya.

Pengamat Anggaran dan Kebijakan Publik, Siska Baringbing mengatakan hal senada. Timsel tidak mengindahkan aturan 30 persen dalam seleksi ini. Ditambah lagi adanya mantan narapidana korupsi yang diloloskan.

“Aku meragukan kinerja timsel karena meloloskan mantan terpidana korupsi, ini preseden buruk bagi masyarakat. Aduh jelek sekali ini. Ini yang paling jelek. Ini marah masyarakat Sumut ini,” ungkapnya.

Saat ini masyarakat Sumut dikatakannya sedang berjuang untuk pemerintahan yang bersih. Keputusan Timsel dinilai mencoreng perjuangan masyarakat, selain keterwakilan perempuan yang tidak diindahkan, ditambah lolosnya nama mantan terpidana korupsi.

Timsel dinilainya adalah orang berpendidikan yang memiliki pengetahuan dan akses informasi. Dimana untuk mencari tahu rekam jejak seseorang bisa langsung mengetikkan nama di google.

“Mereka kan orang-orang berpendidikan, hal seperti ini kan tidak sulit, tinggal ketik namanya di google langsung kelihatan kok, siapa dia, terdakwa kah, terpidana kah, apa hasil putusannya juga langsung keluar,” paparnya.

Pengamat Sosial Unimed, Bahrul Khair Amal menilai tim seleksi adalah alat kontrol. Dalam persoalan ini, Timsel harus memiliki dasar yang kuat dalam meloloskan mantan terpidana korupsi dalam seleksi calon anggota Komisi Informasi Provinsi Sumatera Utara.

Integritas seharusnya menjadi bahan pertimbangan, mengingat hal tersebut terdapat dalam salah satu persyaratan calon anggota Komisi Informasi Provinsi Sumatera Utara. Apabila sudah terbukti terpidana, walaupun dalam administrasi tidak menunjukkan itulah kelemahan kontrol sosial secara regulasi.

Kasus ini sudah membuktikan tertabraknya persyaratan dengan nilai-nilai moral. Kelemahaannya lebih kepada regulasi yang tidak memunculkan perspektif turunan dari integritas, dimana salah satunya tidak melanggar aturan hukum dan kode etik.

“Kalau masalah pendidikan menjadi analisis interpretasi antara ilmu dan pengalaman. Faktor hati nurani dan kebijakan harusnya tidak bersentuhan dengan hilangnya simpatik orang terhadap keilmuan. Ini sudah by design. Timsel harus bisa menjawab antara integritas dengan regulasi,” tandasnya.