SIAPA pun diantara kita tentu sudah biasa atau sering melihat adanya lukisan pada dinding-dinding beton yang ada dijalanan atau pun ditrotoar, termasuk misalnya lukisan di tembok pembatas jalan, dinding rumah atau bangunan yang sudah tidak terpakai atau yang tidak lagi berpenghuni. Gambar atau lukisan dibeberapa tempat tersebut adalah mural. Kata mural bersal dari bahasa latin, yaitu “murus” yang artinya adalah dinding. Mural secara luas dapat diartikan sebagai kegiatan menggambar atau melukis di atas media dinding, tembok atau media luas lainnya yang bersifat permanen. Pendeknya setiap lukisan atau gambar apapun yang dibuat pada media permanen seperti lantai, meja, langit-langit itu juga dapat dikatakan mural.

Lain mural, lain pula graffity atau grafiti adalah coretan-coretan pada dinding yang menggunakan komposisi warna, garis, bentuk dan volume untuk menuliskan kata, simbol atau kalimat tertentu. Alat yang digunakan pada saat ini biasanya berupa cat semprot kaleng. Sebelum dikenal cat semprot kaleng, grafiti biasanya dibuat dengan sapuan cat menggunakan kuas atau kapur.

Lantas apa perbedaan antara kedunya? Secara sederhana dan kasat mata maka dapat disimpulkan, bahwa mural adalah gambar atau lukisan dinding yang dibuat lebih bebas dan luas. Sementara untuk grafiti lebih sempit dan cenderung berupa tulisan-tulisan dan/atau kata-kata.

Aspek Hukum Mural Art dan Grafiti

Mural dan/atau grafiti yang berisi pesan moral, kritik maupun saran terhadap pemerintah merupakan bentuk ekspresi dan aspirasi yang disampaikan oleh kelompok masyarakat lewat seni. Hal itu dijamin serta dilindugi oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 dan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).

Dari ketentuan tersebut di atas, maka mural dan/atau grafiti tidak dapat dibatasi dan dihapus secara serampangan. Pengahapusan serta adanya ancaman kriminalisasi terhadap masyarakat pembuat mural dan/atau grafiti merupakn tindakan represif dan pembungkaman terhadap eksprsesi dan aspirasi masyarakat. Sejatinya tidak ada alasan pembenar yang patut dijadikan sebagai argumentasi untuk menghapus dan memburu, apalagi menangkap pembuat mural.

Sepekan terakhir dibeberapa kota besar di Indonesia banyak bermunculan mural dan grafiti yang kontroversial, sebut saja misalnya mural “mirip wajah Presiden Jokowi” dan mural “Tuhan Aku Lapar”. Mural tersebut membuat heboh jagad maya dan trending topik dalam pemberitaan media, bahkan berpotensi menjadi masalah hukum, karena konsep yang disampaikan berisi kritik yang ditujukan terhadap pemerintah, sehingga aparat kepolisian dan para pejabat dilingkungan istana pun mulai bereaksi.

Salah satu yang paling dipersoalkan adalah mural mirip wajah Jokowi bertuliskan 404: Not Found, yang ada di tembok bawah jembatan laying di Jalan Pembangunan I, Kelurahan Batu Jaya, Kecamatan Batu Ceper, Kota Tanggerang, Banten. Selain memeriksa sejumlah saksi, pihak keolisian juga melakukan pelacakan terhadap komunitas-komunitas mural yang ada di Kota Tangggerang untuk mencari tau siapa pembuat mural tersebut. Tidak berhenti sampai disitu, polisi justru akan memburu pembuat mural tersebut, karena dinilai telah melanggar hukum.

Sikap aparat kepolisian yang akan memburu pelaku mural teserbut mendapat respon dari Lembaga Bantuan Hukun (LBH) Jakarta yang menilai tindakan penghapusan mural merupakan bukti nyata adanya kemunduran demokrasi. Hal ini ditandai ruang kebebasan berekspresi dan berpendapat masyarakat yang terus menyempit dan pemeritan bersikap seolah anti kritik.

Merujuk pada ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kasus mural sebenarnya merupakan delik aduan, sebab itu polisi tidakboleh memproses kasus tersebut sebelum ada pihak yang dirugikan dan melaporkan kepada aparat yang berwenang, kecuali jika Jokowi merasa tersinggung dan mengadu ke Bareskrim, barulah kasus itu bisa diproses.

Jika polisi tetap memroses dan memburu para pelaku mural, maka dalam konteks ini sikap aparat jelas berlebihan dan terkesan menakut-nakuti publik. Padahal, mural merupakan salah satu saluran ekresi politik. Selain itu, polisi tidak bisa membuktikan pelanggaran pidana dengan dalil penghinaan terhadap simbol negara.

Namun demikian, mural bisa saja melanggar Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, sanksinya, yaitu denda maksimal 50 juta. Jika pun mural dianggap melanggar perda, silahkan saja dihapus atau diberi denda tapi para pelaku mural tidak perlu ditangkap ataun pun diburu.

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengatakan, mural kritik politik seharusnya ditanggapi biasa saja, karena persoalan seni yang tampil bermuatan politik itu yang perlu dikedepankan adalah etika budaya dan batasan-batasan yang harus dimengerti oleh pelaku mural. Selama memenuhi kearifan lokal, etika yang disepakati menurut Ridwan Kamil tidak ada masalah.

Kepala Bidang (Kabid) Humas Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Kombes Pol Yulianto mengatakan, untuk di wilayah hukum Polda DIY dirinya tidak mepersoalkan seni mural yang dihasilkan para seniman. Mural diperbolehkan asal sopan dan tidak dibuat untuk menyinggung kelompok atau pihak lain.

Sejarah dan Tujuan Mural

Seni mural sebenarnya sudah ada sejak jaman dahulu kala. Bahkan bila ditelaah dari sejarahnya, mural sudah ada sejak 31.500 tahun yang lalu, tepatnya pada masa prasejarah. Pada masa itu, terdapat sebuah lukisan yang menggambarkan sebuah gua di Lascaux, yaitu daerah Selatan Prancis. Mural yang dibuat pada mas prasejarah tersebut menggunakn sari buah sebagai cat air, karena pada masa prasejarah belum dikenal adanya cat.

Pada masa prasejarah, negara yang paling banyak memiliki lukisan dinding atau mural tidak lain adalah Prancis. Salah satu mural atau lukisan dinding yang paling terkenal saat itu adalah mural karya Pablo Picasso. Pablo Picasso membuat sebuah mural yang dinamakan Guernica atau Guernica y Lubo. Mural Art ini dibuat pada saat terjadinya peristiwa perang sipil di Spanyol pada tahun 1937.

Sementara itu, tujuan dibuatnya mural adalah untuk memperingati peristiwa pengeboman oleh Tentera Jerman yang terjadi di sebuah Desa kecil, dimana kebanyak diantara mereka, yaitu masyarakat Spanyol.

Perkembangan Mural Art

Jika dulu mural hanya dijadikan sebagai ungkapan, mengkritisi masalah sosial lewat gambar dan tulisan di dinding jalanan, trotoar, kini mural menjadi bisnis seni lukis. Mural saat ini mulai dijadikan oleh sebagian orang menjadi salah satu pilihan untuk mempercantik interior. Bahkan mural juga sudah mulai menjadi daya tarik tersendiri sebagai spot poto yang menarik.

Tidak heran lagi jika sekarang banyak sekali café, restoran, hotel, apartemen, toko phonsel hingga rumah pribadi pun menggunakan lukisan dinding atau mural sebagai Point of View dari sebuah ruangan. Pengalaman penulis dalam melakukan perjalanan (traveling), baik di kota-kota yang ada di provinsi Sumatera Utara maupun Sumatera Barat, lukisan dinding atau mural ini memang sudah banyak menghiasi, baik itu di cafe maupun resto.

Mural saat ini mulai menjadi daya tarik bagi pengunjung untuk datang ke café atau pun resto. Mural yang dibuat biasanya disesuaikan dengan selera, konsep café/restonya sendiri hingga menjadi media branding secara tidak langsung. Bahkan tidak jarang ditemukan mural dalam café/resto dengan lukisan aneka menu yang mereka sajikan. Jadi hemat penulis, masalah mural, baik yang berupa saran atau pun juga kritikan, pemerintah tidak perlu menanggapinya secara berlebihan, cukup dijadikan sebagai bahan evaluasi dan harusnya diterima sebagai bentuk aspirasi atau ekspresi masyarakat. Jangan pula pemerintah sampai memusuhi rakyatnya sendiri dengan cara memburu dan menangkap masyarakat hanya gara-gara membuat mural. Semoga!

Penulis Alumni FH UMSU, Anggota DPC Peradi Medan,
dan Ketua Pemuda Muhammadiyah Kota Medan Periode 2014-2018.