SESIAPA suku Jawa yang lahir dan besar di Kota Medan,  pasti akan menyebut Gudeg Jogja seperti kolak, terasa sangat manis. Lidah manusia terkondisikan oleh kebiasaan makanan yang dikonsumsinya. Artinya, di mana seseorang tinggal, di sana cita rasa indra pencerapannya terbentuk.

Fakta bahwa manusia bergerak, bermigrasi dan pergi jauh, hingga rasa rindu kampung halamannya adalah sebuah kenyataan. Selain keluarga, tentu kerinduan yang utama adalah makanan khas dari kampung halamannya.

Makanan kampung halaman adalah ibu bagi semua anak. Makanan kampung halaman adalah lembar-lembar kerinduan; pada sanak saudara, pada kawan sepermainan, pada suasana kampung; ketika seorang perantau merasakan derita hidup dan bahkan ketika merasakan kebahagiaan.

Ilham, pekerja asing di Arab Saudi asal Mandailing Natal, malam itu menitikkan air mata bahagia ketika istrinya memasakkan ikan teri medan yang dibawa teman kerjanya. Ia merasakan dirinya berada di kampung halamannya.

Dhani, mahasiswa di Norwegia asal Kebumen, menikmati tempe goreng sambil terpejam pada acara makan bersama di KBRI Oslo dalam rangka peringatan HUT Kemerdekaan RI. Ia teringat tempe goreng yang dulu tiap hari dibuatkan oleh ibunya. Ia ingat kampung dan rindunya terbayar dalam tiap gigitan tempe goreng itu.

Felix, anak Papua di Pekanbaru, tanpa malu-malu menghabiskan 2 piring papeda ketika dijamu oleh Pak Fransiskus yang juga perantau asal Sorong. Binar matanya cukup untuk menyampaikan rasa rindu yang dalam kepada kampung halaman dan keluarganya nun jauh di sana.

Upaya pengiriman makanan dari kampung halaman hanya bisa pada jenis makanan tertentu yang digoreng atau dipanggang, sementara makanan tradisional yang dirindukan sulit dikirim jauh dan lama. Permasalahan tentang makanan adalah daya tahannya, baik cita rasa dan kualitasnya. Apalagi umumnya makanan tradisional dimasak menggunakan kuah atau santan.

Makanan Tradisional dalam Kaleng

Adalah Jatu Dwi Kumalasari, generasi ke 4 yang menjalankan usaha rumah makan Gudeg Bu Tjitro di Jogjakarta.

Gudeg Bu Citro dimulai pada tahun 1925, dan banyak mahasiswa asal luar kota yang sudah mengenalnya.

Merespon permintaan pasar luar daerah yang rindu gudegnya, pada akhir 2008 ia bersama LIPI mengembangkan konsep pengemasan gudeg dalam kaleng. Dan hari ini Gudeg Kaleng Bu Tjitro Jogja sudah tersebar ke seluruh penjuru. Konon produksi gudeg kaleng ini selalu kewalahan memenuhi banyaknya permintaan.

Siapa yang tidak kenal Rendang Minang? Masakan yang masuk kategori ter-lezat di dunia.

Menjawab permintaan pasar, PT Langit Cerah Sukses (LCS) sejak tahun 2010 memproduksi rendang dalam kaleng dengan merek Karissa.

"Rendang Karissa diproduksi untuk memudahkan para penggemar rendang menikmati masakan tanpa terhalang jarak dan waktu," kata Tania Ismir, kepala pemasaran PT LCS.

Jemaah haji dan umroh banyak yang membawa makanan ini untuk menjaga selera makannya di negeri orang yang jauh.

Sate Kerang Medan

Adalah Hendri, generasi ke-2 usaha mie ayam H. Mahmud yang legendaris di Kota Medan. Merespons komentar tamu-tamu atas lezatnya sate kerang di outletnya. Kini ia sedang dalam tahap uji kelayakan mengemas sate kerangnya dalam kaleng.

Pada pertemuan kami minggu lalu, Hendri menunjukkan kemasan kaleng berisi sate kerang asal Tanjung Balai, “minggu depan sudah masuk 3 bulan masa uji”, katanya.

“Ini adalah oleh-oleh khas medan”, jelas Hendri. Sate kerang kaleng ini adalah jembatan penebus rindu untuk para perantau asal Sumatera Utara kepada kampung halamannya.

Sekarang sudah banyak teknologi dan pabrik yang mampu membuat makanan kaleng, hampir ada di semua kota besar.

Sebuah peluang bisnis yang menarik. Sebuah peluang bisnis yang membantu perantau melepas rindu. Sebuah peluang bisnis yang membuat orang bahagia.
Cobalah.

*Penulis adalah coach bisnis dengan sub spesialis pada bisnis keluarga.